~

~ Sengkarut ide, serakan asa dan serpihan momen::

Senin, 19 November 2012

Mengingat Sisyphus

Semua berawal dari pertanyaan konyol. Kehidupan kita yang manusia di dunia berangkat dari pertanyaan konyol Iblis. Teman saya dalam sebuah kesempatan duduk di meja café melontarkan ucapan menggelitik dari seorang temannya, “Jangan pernah sepakat dengan apa yang disampaikan siapapun kepadamu!”.

Kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan tak urung lahir dari keisengan sebuah pertanyaan konyol. Pernah ada masanya, orang menanyakan kepemimpinan suatu negara bila tidak dipimpin oleh kaum filosof. Pernah ada masanya, orang bertanya mengapa rumput dan ilalang tumbuh di bibir sungai Nil setelah banjir. Dan pernah ada masanya, sekelompok orang mempertanyakan, kedatangan masa pencerahan dan kemajuan modernisme namun yang dituai oleh umat manusia tiada lain adalah perang dunia.

Waktu berjalan di zaman kita dalam suara denting jarum jam. Hey, kita hidup di tahun 2012 setelah masehi. Kita hanya “dust in the wind” dalam dua lajur mega waktu. Pertama, usia kehidupan alam semesta tempat keberadaan kehidupan manusia bermula hingga sekarang. Dan kedua, lajur keberadaan umat manusia membentuk sejarah dan peradaban dengan segala piranti-pirantinya.

Semakin bertambah tua usia alam semesta dan sejarah manusia, semakin banyak “sesuatu” yang bisa diketahui dan dipelajari. Kutukankah? Umat manusia masa kini “terkondisikan” untuk bisa mengetahui lebih banyak dari apa yang diketahui oleh umat manusia masa lalu. Begitu juga, umat manusia masa depan akan “terkondisikan” untuk memungkinkan bisa mengetahui lebih banyak dari apa yang sudah diketahui oleh umat manusia masa kini. Apakah bukan ironi, jika semakin banyak yang manusia ketahui, semakin banyak yang bisa ia lakukan untuk kehidupan mendatang. Sementara, orang melakukan sesuatu sebatas pada apa yang diketahuinya.

Saya mencoba mengkhayal. Seseorang yang hidup di zaman yang entah masih modernisme atau postmodernisme, ini merayapi seluk beluk filsafat dan kebijaksanaan dari zaman Yunani sampai sekarang. Saya berimajinasi, seseorang yang memiliki perkiraan kemampuan fisik untuk hidup sekitar 70 tahun mempunyai kualitas kemampuan akal dan hati yang berusia ribuan tahun.

Khayalan di atas dengan guyon barusan saya lontarkan kepada kawan-kawan serumah dalam obrolan malam ini. Saya menyimak obrolan ringan soal ilmu pengetahuan dan peradaban sebenarnya bertolak dari filsafat, perseteruannya di kemudian hari dan pada akhirnya kami pun dibuat sadar bahwa pendasaran dalam laku berpikir dan sikap hidup itu wajib. Filsafat sebagai jalannya. Dan meskipun nanti pada akhirnya semua orang membicarakan dan mempraktikkan filsafat—tentunya dengan bekal “pertanyaan konyol”—tidak serta membuat mereka semua menjadi postmodern. Bahkan, mahasiswa yang belajar di fakultas akuntansi tidak semuanya menjadi akuntan. “Ya, nanti ada yang terdampar di postmodern, ada yang terdampar di strukturalisme, ada yang di idealisme dan lain-lain. Kan gak keren kalau semua jadi postmodern.” Demikian kira-kira kawan saya mencoba menyimpulkan.

Semua itu akan mempengaruhi laku berpikir dan sikap hidup selama diamalkan. Semua itu diyakini mampu mengakarkan setiap apa yang hendak dilakukan dan bahkan diperjuangkan. Meski semua kita perlu menyadari dongeng seorang Sisyphus dengan batu di punggungnya.

Kecuali bila kita hanya mengandalkan kenyataan bahwa semakin lama zaman semakin cacat, semakin rusak dan demikian kodratnya sampai akhir—tidak ada yang bisa diupayakan—lalu ditutup dengan tiupan terompet malaikat Israfil.

Dari Sisyphus, kita disadarkan: ada yang bisa diperbuat, ada yang mesti dilakukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar