~

~ Sengkarut ide, serakan asa dan serpihan momen::

Jumat, 23 November 2012

Di Bethlehem

Aku sedang dalam perjalanan menuju Bethlehem bersama Tuan Gou dan Silva.

Aku duduk di kafe kecil yang terletak di selatan Quds. Sebuah kafe yang begitu dekat dengan pembatas-pembatas besi yang dengan dungu dijaga oleh bighal dan pengemudinya, kendaraan, anjing-anjing dan sederet kendaraan besi buta, besar, warna kuning yang bernama buldoser, berdiri berjejer.

Kuminum kopi yang dihidangkan oleh pelayan yang masih seorang bocah. Saya tanya, mengapa bekerja di sini sementara sudah seharusnya ia duduk di bangku sekolah. Ia menjawab, “Sekolah yang mana Tuan? Madrasah-madrasah sudah mereka tutup!”

Bocah belia itu mengarah ke para penjaga, “Mereka tidak menginginkan satu pun dari kami belajar. Mereka mau kami seperti ternak yang mereka kendarai. Tapi suatu saat jika sekolah-sekolah sudah dibuka kembali, saya akan masuk walaupun umur saya sudah kepala tiga.”

“Siapa namamu, Nak?” saya bertanya lagi.

Ia menjawab, “Farhan.”

“FARHAN?” Terkejut saya.

“Bayangkan,” sahutnya, “Farhan namaku.” Ia menganggukkan kepala lalu permisi.

Ketika kembali ke hadapanku, anak itu menanyaiku, barangkali saya butuh sesuatu.

“Tidak, aku tidak butuh apa-apa,” jawabku, “Aku sedang menunggu dua karibku yang pergi ke pos pemeriksaan untuk menyelesaikan berkas kami.”

“Justru karena itu,” ia menjelaskan, “pesanlah makanan atau minuman. Mereka tidak akan kembali sebelum satu jam.”

Aku kembali menanyainya, “Farhan, apakah kamu punya saudara?”

“8 laki-laki dan 4 perempuan.”

“Dan nama-nama mereka semirip namamu?”

“Sangat-sangat mirip. Ibu menamai saudara perempuanku dengan nama bunga: Wardah, Nasren, Yasmin, Ghuriya. Dan nama saudara laki-lakiku: Jamal, Said, Raghid, Bahgat, Nasr, Naef dan Fawaz.”

“Seoptimis itukah ibumu, Nak?”

“Tidak, Tuan.” Sanggahnya. “Hanya untuk membuat mereka-mereka marah.” Ia kembali menunjuk ke para penjaga itu.

Benar, kawan. Penduduk di sini menghadapi getirnya hidup dengan keringat kerja, sepotong senyum, seonggok kesabaran dan nama-nama baik yang disematkan ke anak-anak mereka.

Di tanah landai yang terang ini, Quds terpisah dari Bethlehem. Aku menoleh ke belakang, menatap Quds. Aku pandangi ia, seperti tempat lilin, mercusuar tinggi di atas bebukitan. Rumah-rumah terang benderang. Begitu juga segala pepohonan yang ada: zaitun, sikamore, eek, samak, salam. Bahkan lorong-lorong yang seperti mau menelan kami dan kabut pagi yang asih juga terlihat begitu padang di mata...

Aku menoleh ke depan, menatap Bethlehem. Aku pandangi ia, bak secangkir kopi yang terdiam tenang di atas bukit yang luas. Cahaya dari kediaman dan jalan-jalan mengalir ke arah kami bersama halimun.

~ Sepenggal dari novel Madinatillah, Hasan Hamid. Saya cuplik dari bab "Di Bethlehem" (bagian yang saya suka). Aku di sini adalah Vladimir, seorang pelancong berkebangsaan Rusia, yang menceritakan perjalanannya ke Kota Tuhan lewat surat-suratnya yang dialamatkan ke Ivan, dosen di  Universitas Saint Petersburg yang mengajarinya bahasa Arab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar