~

~ Sengkarut ide, serakan asa dan serpihan momen::

Sabtu, 24 November 2012

Ia Yang Bernama Kehilangan

Seorang lelaki duduk termenung di sudut café El Fisawhy. Ia membolak-balik secarik kertas yang ia temukan terselip di bawah pintu flatnya. Ia masghul mendapati hal aneh pagi tadi. Ia masghul lagi setelah membaca isinya. Ia duduk termenung menunggu teman lamanya datang. Seorang pelayan yang sudah dikenalnya 7 tahun lalu menghidangkan secangkir kopi Turki yang ia pesan.

Teman yang ia tunggu datang. Setelah mempersilakan duduk dan tanpa menanyai kabar, ia berikan kertas kuning yang sudah ia remas-remas. Ia menyuruhnya membacanya. Sahabatnya penasaran. Lekas-lekas ia membukanya lalu yang mendapatkan pesan itu mendengar mulut temannya berkata, “Terbuat dari apakah ia yang bernama kehilangan?”


Lelaki itu hanya bisa menjawab, “Aku tidak tahu darimana ia berasal. Aku hanya bisa merasakannya.” 

“Apa yang kamu rasakan?”

“Saya teringat masa kecilku, yang direnggut Tuhan ketika ia  merenggut kedua orang tuaku.

“Saya kehilangan cerita berorang tua dan sejak saat itu, saya nyaris seorang bocah yang dipaksa berumur 23 tahun.”

“Semua yang baik datang dariNya. Semua yang buruk…”

Lelaki itu cepat menukas, “Juga datang dariNya.”

Temannya masih tenang meneruskan, “Semua yang buruk datang bukan dariNya.” 

“Tidak juga!”

“Kok?”

“Lihat kelaparan di Afrika! Lihat aku yang tumbuh tanpa orang tua!”

Temannya menghela nafas panjang. Ia juga menyadari kedlaifannya menerangkan asal usul kehilangan dengan detail. Ia hanya bisa bilang, “Selama kamu menghadapi Tuhan dengan masa lalumu, selama itu pula Ia menjumpaimu dengan segala takdir buruk.”

Namun lelaki itu tetap keukeuh. “Semua temanku yang berorang tua mengujariku: tidak ada obat mujarab di dunia selain kampung halaman.

“Barangkali dari sana, kehilangan ini berasal. Karena aku punya kampung halaman.”

“Bukankah kamu yang selalu bilang padaku, segala sesuatu datang berantai. Lihatlah dirimu sendiri, kawan, buah dari masa lalumu sendiri!”

“Tuhan yang menjadikanku seonggok masa lalu yang tak mati-mati.”

“Bukan. Ingatanmu sendiri yang menciptakanmu seorang masa lalu. Jika kamu bisa melenyapkan ingatan dari dirimu, tentu kamu tidak akan menyuruhku datang untuk ngobrol urusan sentimental semacam ini. Tapi kupikir, itu tidak mungkin…”

“Ayo! Tunjukkan cara melenyapkan ingatan kepadaku!”

“Tidak mungkin bisa. Semua orang punya ingatan, kawan.” 

“Dan terbukti kan, benih kehilangan ini lahir dari rahim ingatan.”

“Tapi itu bukan satu-satunya, kawan. Jangan sering-sering melibatkan Tuhan dalam urusan keburukan. Jika memang benar apa yang kamu katakan, kiamat sudah terjadi dari dulu.”

Kawannya memesan syahlab. Sejenak mereka berdua menikmati minuman. Pelayan yang akrab dengan keduanya ingin sekali terlibat dalam pembicaraan. 

Kawannya berpikir sejenak kemudian berkata, “Tidak semua yang pergi pasti hilang sebagaimana tidak semua yang ditunggu mesti datang. Biarkan semua menghampiri kehidupan kita, baik dengan permisi maupun tidak. Kita tidak perlu menyalahkan apa-apa. Musim dingin tidak pernah menyalahkan musim gugur yang menggugurkan dedaunan dan bebungaan. Bukankah karena itu, tidak ada yang dibawa musim dingin selain musim semi selepas ia pergi? 

“Kehilangan memiliki bayangan, kawan. Nama bayangannya kerelaan.”

Lelaki itu menelan omongan temannya dalam-dalam. Pelayan tua tadi datang ketika ia minum pahit sisa kopinya.

“Aku punya cerita.” selanya.

Kedua pemuda itu hormat kepadanya. Mereka meminta beliau duduk menemani barang sejenak. Kebetulan café sedang sepi. 

“Beberapa minggu di sini aku berjumpa seorang turis yang mengaku tengah menulis novel. Dia berkepala tiga. Ketika aku menghidangkan minuman pesanannya dan mempersilakannya, dia tiba-tiba bilang kehilangan ide meneruskan tulisan. Gara-gara dialog yang diucapkan oleh tokoh rekaannya sendiri. Kata si tokoh, ‘setiap orang merasa menderita kehilangan sesuatu atau seseorang yang paling ia miliki dan paling ia ingini. Kira-kira bagaimana rasanya kehilangan sesuatu atau seseorang yang sudah paling ia ingini dan akan paling ia miliki?’ Dia berhenti menulis, memilih ke sini duduk berjam-jam memikirkan rasa kehilangan yang demikian rupanya.”

Kedua pemuda itu larut menyimak. 

“Obrolan kalian mengingatkanku padanya. Sebelum aku izin permisi, aku dititipinya satu pertanyaan: terbuat dari apakah ia yang bernama kehilangan? Kamu kehilangan masa lalu yang paling kamu ingini, lantas kamu simpulkan ia datang dari ingatan. Tapi si tokoh itu! Dia belum punya ingatan tentang masa depan. Ia hanya dihampiri kenyataan kehilangan apa yang paling ia ingini dan akan paling ia miliki.”

Sebelum beranjak berdiri, pelayan tua itu mengeluarkan sesobek kertas dari sakunya. “Ini nomor telepon dan alamat hotel dia menginap.”

Kedua pemuda saling tatap, tersenyum seperti sudah sepakat dengan apa yang mereka berdua akan lakukan bersama. 

Pelayan tua tersenyum melihat mereka berlalu. Ia kira-kira tahu, apa yang akan mereka cari. Bila bertemu mereka lagi di sini, ia ingin bertanya, “Betulkah kehilangan terbuat dari ingatan?” 

Kairo, 24 November 2012

Jumat, 23 November 2012

Di Bethlehem

Aku sedang dalam perjalanan menuju Bethlehem bersama Tuan Gou dan Silva.

Aku duduk di kafe kecil yang terletak di selatan Quds. Sebuah kafe yang begitu dekat dengan pembatas-pembatas besi yang dengan dungu dijaga oleh bighal dan pengemudinya, kendaraan, anjing-anjing dan sederet kendaraan besi buta, besar, warna kuning yang bernama buldoser, berdiri berjejer.

Kuminum kopi yang dihidangkan oleh pelayan yang masih seorang bocah. Saya tanya, mengapa bekerja di sini sementara sudah seharusnya ia duduk di bangku sekolah. Ia menjawab, “Sekolah yang mana Tuan? Madrasah-madrasah sudah mereka tutup!”

Bocah belia itu mengarah ke para penjaga, “Mereka tidak menginginkan satu pun dari kami belajar. Mereka mau kami seperti ternak yang mereka kendarai. Tapi suatu saat jika sekolah-sekolah sudah dibuka kembali, saya akan masuk walaupun umur saya sudah kepala tiga.”

“Siapa namamu, Nak?” saya bertanya lagi.

Ia menjawab, “Farhan.”

“FARHAN?” Terkejut saya.

“Bayangkan,” sahutnya, “Farhan namaku.” Ia menganggukkan kepala lalu permisi.

Ketika kembali ke hadapanku, anak itu menanyaiku, barangkali saya butuh sesuatu.

“Tidak, aku tidak butuh apa-apa,” jawabku, “Aku sedang menunggu dua karibku yang pergi ke pos pemeriksaan untuk menyelesaikan berkas kami.”

“Justru karena itu,” ia menjelaskan, “pesanlah makanan atau minuman. Mereka tidak akan kembali sebelum satu jam.”

Aku kembali menanyainya, “Farhan, apakah kamu punya saudara?”

“8 laki-laki dan 4 perempuan.”

“Dan nama-nama mereka semirip namamu?”

“Sangat-sangat mirip. Ibu menamai saudara perempuanku dengan nama bunga: Wardah, Nasren, Yasmin, Ghuriya. Dan nama saudara laki-lakiku: Jamal, Said, Raghid, Bahgat, Nasr, Naef dan Fawaz.”

“Seoptimis itukah ibumu, Nak?”

“Tidak, Tuan.” Sanggahnya. “Hanya untuk membuat mereka-mereka marah.” Ia kembali menunjuk ke para penjaga itu.

Benar, kawan. Penduduk di sini menghadapi getirnya hidup dengan keringat kerja, sepotong senyum, seonggok kesabaran dan nama-nama baik yang disematkan ke anak-anak mereka.

Di tanah landai yang terang ini, Quds terpisah dari Bethlehem. Aku menoleh ke belakang, menatap Quds. Aku pandangi ia, seperti tempat lilin, mercusuar tinggi di atas bebukitan. Rumah-rumah terang benderang. Begitu juga segala pepohonan yang ada: zaitun, sikamore, eek, samak, salam. Bahkan lorong-lorong yang seperti mau menelan kami dan kabut pagi yang asih juga terlihat begitu padang di mata...

Aku menoleh ke depan, menatap Bethlehem. Aku pandangi ia, bak secangkir kopi yang terdiam tenang di atas bukit yang luas. Cahaya dari kediaman dan jalan-jalan mengalir ke arah kami bersama halimun.

~ Sepenggal dari novel Madinatillah, Hasan Hamid. Saya cuplik dari bab "Di Bethlehem" (bagian yang saya suka). Aku di sini adalah Vladimir, seorang pelancong berkebangsaan Rusia, yang menceritakan perjalanannya ke Kota Tuhan lewat surat-suratnya yang dialamatkan ke Ivan, dosen di  Universitas Saint Petersburg yang mengajarinya bahasa Arab.

Kamis, 22 November 2012

Lelaki Penterjemah Darah


Lelaki kurus itu marah
Kepada sebilah tanah bernama Gazah
Yang ia pandangi tidak bisa berubah
Bernama nukbah yang lebih tua dari umurnya yang sayah

Lelaki kurus itu tidak habis mengerti
Kepada diri dan benaknya sendiri
Yang masih kuat menterjemah darah setiap hari
Dan setiap bulan mengambil gaji

Lelaki kurang cerdas itu berpikir
Jika berhenti, apa perang akan berakhir
Dan masa depan biar mengikuti takdir
Biarkan mengalir dan tergenang seperti air

Lelaki bingung itu menyalakan rokok
Mengamati berita dengan pikiran mentok
Menyerapahi pimpinan yang dinilainya goblok
Membereskan asbak dunia yang kenyang puntung rokok

Sudah jutaan rintihan doa diangkat ke atap langit
Sudah jutaan mulut meneriakkan pertolongan
Sudah jutaan waktu juga koran pagi menulis
Gazah adalah perang, perang adalah Gazah

Lelaki kosong itu bingung berbuat apa
Selain,
Keluar rumah memutari pasar mencari strawberry
Ia pisahkan yang segar dari yang busuk
Ia lumat kuat-kuat yang busuk dengan genggaman
Ia kucurkan keringat Palestina bernama Zaitun
Ia campur dengan cat merah dan hitam
Ia lumat kuat-kuat kembali
Ia genggam lumpur strawyberry wangi itu
Ia campakkan ke gabus putih yang polos
Ia pandangi bercak berdarah dari buah musim dingin itu
Ia ambil satu persatu buah tak berdosa itu
Ia tancapkan dengan jarum dan paku
Ia jajarkan membentuk barisan kuburan manusia
Sepetak kuburan, cairan buah segar mengalir tak berhenti

Lelaki kisut itu seperti sadar
Atas setiap tanya yang sangat wajar
Sayang sekali, menyiakan bebuahan segar
Ia hanya bisa melempar komentar
Seperti itu, manusia Gazah berguguran dalam dunia yang masih sadar

Di pagi yang lelap, ia sendiri, menterjemah lagi

Senin, 19 November 2012

Mengingat Sisyphus

Semua berawal dari pertanyaan konyol. Kehidupan kita yang manusia di dunia berangkat dari pertanyaan konyol Iblis. Teman saya dalam sebuah kesempatan duduk di meja café melontarkan ucapan menggelitik dari seorang temannya, “Jangan pernah sepakat dengan apa yang disampaikan siapapun kepadamu!”.

Kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan tak urung lahir dari keisengan sebuah pertanyaan konyol. Pernah ada masanya, orang menanyakan kepemimpinan suatu negara bila tidak dipimpin oleh kaum filosof. Pernah ada masanya, orang bertanya mengapa rumput dan ilalang tumbuh di bibir sungai Nil setelah banjir. Dan pernah ada masanya, sekelompok orang mempertanyakan, kedatangan masa pencerahan dan kemajuan modernisme namun yang dituai oleh umat manusia tiada lain adalah perang dunia.

Waktu berjalan di zaman kita dalam suara denting jarum jam. Hey, kita hidup di tahun 2012 setelah masehi. Kita hanya “dust in the wind” dalam dua lajur mega waktu. Pertama, usia kehidupan alam semesta tempat keberadaan kehidupan manusia bermula hingga sekarang. Dan kedua, lajur keberadaan umat manusia membentuk sejarah dan peradaban dengan segala piranti-pirantinya.

Semakin bertambah tua usia alam semesta dan sejarah manusia, semakin banyak “sesuatu” yang bisa diketahui dan dipelajari. Kutukankah? Umat manusia masa kini “terkondisikan” untuk bisa mengetahui lebih banyak dari apa yang diketahui oleh umat manusia masa lalu. Begitu juga, umat manusia masa depan akan “terkondisikan” untuk memungkinkan bisa mengetahui lebih banyak dari apa yang sudah diketahui oleh umat manusia masa kini. Apakah bukan ironi, jika semakin banyak yang manusia ketahui, semakin banyak yang bisa ia lakukan untuk kehidupan mendatang. Sementara, orang melakukan sesuatu sebatas pada apa yang diketahuinya.

Saya mencoba mengkhayal. Seseorang yang hidup di zaman yang entah masih modernisme atau postmodernisme, ini merayapi seluk beluk filsafat dan kebijaksanaan dari zaman Yunani sampai sekarang. Saya berimajinasi, seseorang yang memiliki perkiraan kemampuan fisik untuk hidup sekitar 70 tahun mempunyai kualitas kemampuan akal dan hati yang berusia ribuan tahun.

Khayalan di atas dengan guyon barusan saya lontarkan kepada kawan-kawan serumah dalam obrolan malam ini. Saya menyimak obrolan ringan soal ilmu pengetahuan dan peradaban sebenarnya bertolak dari filsafat, perseteruannya di kemudian hari dan pada akhirnya kami pun dibuat sadar bahwa pendasaran dalam laku berpikir dan sikap hidup itu wajib. Filsafat sebagai jalannya. Dan meskipun nanti pada akhirnya semua orang membicarakan dan mempraktikkan filsafat—tentunya dengan bekal “pertanyaan konyol”—tidak serta membuat mereka semua menjadi postmodern. Bahkan, mahasiswa yang belajar di fakultas akuntansi tidak semuanya menjadi akuntan. “Ya, nanti ada yang terdampar di postmodern, ada yang terdampar di strukturalisme, ada yang di idealisme dan lain-lain. Kan gak keren kalau semua jadi postmodern.” Demikian kira-kira kawan saya mencoba menyimpulkan.

Semua itu akan mempengaruhi laku berpikir dan sikap hidup selama diamalkan. Semua itu diyakini mampu mengakarkan setiap apa yang hendak dilakukan dan bahkan diperjuangkan. Meski semua kita perlu menyadari dongeng seorang Sisyphus dengan batu di punggungnya.

Kecuali bila kita hanya mengandalkan kenyataan bahwa semakin lama zaman semakin cacat, semakin rusak dan demikian kodratnya sampai akhir—tidak ada yang bisa diupayakan—lalu ditutup dengan tiupan terompet malaikat Israfil.

Dari Sisyphus, kita disadarkan: ada yang bisa diperbuat, ada yang mesti dilakukan.

Selasa, 13 November 2012

Café Mesir: antara Suasana dan Sejarah

Mesir tanpa café seperti revolusi tanpa kepala. Negara yang digadang Khediv Ismail sebagai cerminan Eropa, ini berhasil menciptakan kesadaran bahwa keberadaan café (maqha) harus mampu menjadi ruang publik yang dinikmati oleh kalangan dengan beragam latar belakang.

Kolumnis Mesir pernah berguyon, secangkir kopi yang dihidangkan istri kepada suaminya, sangat berbeda dengan secangkir kopi yang disajikan oleh barista di café. Bila si suami menumpahkan kopi di meja, yang terjadi kemudian adalah bentakan istri memarahinya karena lengah di sela-sela baca koran. Berbeda dari bila kecelakaan kopi tumpah berlangsung di café. Pelayan akan datang membersihkan meja dan menghidangkan secangkir kopi yang hangat. Penulis yang saya lupa namanya, itu menghadirkan tawaran suasana dan tuah café Mesir.

Selain suasana, café juga sudah menyejarah di Mesir.

BAB EL LOUQ, 1936. Yusuf Efendy mendirikan café yang ia beri nama Hurriyah (kebebasan) di sekitar Bab el Luq square. Awal dibuka, perjalanan café buntung karena letaknya yang tidak strategis: jauh dari pemukiman penduduk dan dari gerak laju orang. Kondisi miris ini berlangsung hingga tahun 1942—berbarengan dengan meletusnya Perang Dunia II. Dengan banyaknya berdatangnya pasukan sekutu (Inggris) ke Mesir, café ini mulai menemukan tuahnya. Tentara sekutu menggemari café Hurriyah karena kualitas sajian minuman dan harga yang terjangkau. Sejak saat itu, bangsawan, tentara, polisi, seniman menemukan seleranya di sana. Café Hurriyah masih bertahan sampai sekarang dan hanya ada beberapa renovasi. Presiden Anwar Sadat termasuk dari sederet tokoh yang menjadi pelanggan café Hurriyah.

DI ANTARA MOSKY DAN ATABAH, ada café Matatiya—salah satu café bersejarah yang pernah disinggung dalam novel La Ahada Yanamu fil Iskandariyah. Café ini lekat dengan nama Jamaluddin Al Afghani, tempat ia menghisap sisya sepanjang hari dan mengobrolkan revolusi kepada orang-orang. Ia menjadi saksi revolusi 1919, yang dipimpin oleh Saad Zaghlul, pemimpin Pergerakan Nasionalisme Mesir. Café Matatiya dikenal sebagai café paling bersejarah di Mesir karena banyak peristiwa besar lahir dari tiap kursi yang diduduki tokoh besar seperti Zaghlul, Abdullah Nadim, Mahmud Sami al Barudy.

DISTRIK AL AZHAR, berdiri café El Fishawy yang masih kokoh sampai sekarang dan banyak didatangi turis. Dibangun pada 1797 oleh Hag Fahmi Ali El Fishawy. Nama café ini kerap dilekatkan dengan nama sastrawan Mesir, Naguib Mahfoudz. Beberapa karya perdananya tak jarang mencantumkan namanya.

3 café di atas hanya satu nafas dalam denyut sejarah café negeri yang, disanjung Napoleon, sebagai “negeri yang tak pernah mengenal kesedihan.”

Rasha Adly, penulis Mesir berimajinasi dengan bangga tentang tradisi ber-café rakyat Mesir. Pada masa ketika barang elektronik seperti televisi dan radio belum masuk ke rumah-rumah, ia melontarkan pertanyaan, bagaimana nenek moyang mereka menghabiskan waktu dan menikmati masa senggang mereka? Ia berkesimpulan, mayoritas buruh yang bekerja sebagai pengrajin bekerja dengan durasi pendek, tidak mengherankan apabila pendahulunya bisa menciptakan tempat bersama guna menghabiskan waktu luang dan menghibur diri. Dua tempat terfavorit waktu itu adalah café dan pemandian umum.

Orientalis Inggris Edward William memperkirakan lebih dari 1000 café tersebar di pusat dan sudut Kairo ketika jumlah penduduk Kairo sekitar 300 ribu orang. Diperkirakan perempuan Kairo separuh dari penduduk total. Jumlah anak-anak 50 ribu orang. Sisanya, tinggal 100 ribu pria. Artinya 1 café untuk 1000 pria.

Dalam buku Al Qahirah: Al Madinah wa Ad Dzikrayat (Kairo: Kenangan Sebuah Kota), Rasha menyinggung kebiasaan orang-orang Mamalik—yang dikenal sebagai bangsa pecinta buku—yang memiliki café-café khusus untuk menghirup ganja dan minum arak yang terletak di sepanjang kawasan Bulaq. Begitu juga bangsa Turki Utsmani mempunyai café-café khusus di distrik Shalibiyah. Para Basybazug (orang yang menyewakan dirinya untuk pergi berperang) berlanggganan di sana.

Terakhir, mari kita simak deskripsi dari Sejarawan Bares Dauphin tentang satu suasana bercafe di Mesir:

“Terlihat banyak batu api (korek) dan sisya Lattakiya Suriah. Para penganggur datang minta belas kasih di tempat terhormat itu karena kelesuan nasib mereka. Petani-petani miskin sedang melupakan kesengsaraan dalam tegukan kopi arab yang diteguk dengan nikmat… Orang-orang duduk berkumpul dengan urusan masing-masing dan sesekali didatangi pengemis yang mencoba meminta perhatian mereka dengan kisah-kisah majnun ketika dilihatnya mereka jarang tertawa.”

Senin, 12 November 2012

Malala Yusufzai


Namanya Malala Yusufzai. Seorang muslimah berdarah Pakistan. Dunia mengenalnya sebagai pejuang hak perempuan.  9 Oktober lalu, orang bersenjata Taliban mencoba membunuhnya dalam perjalanan pulang dari sekolah. Ia ditembak di bagian kepala dan leher. Puji Tuhan, ia hidup dan bertahan.

Di mata penembaknya, ia melakukan kesalahan fatal: tetap masuk sekolah dan berang melihatnya banyak sekolah di tempat ia tinggal ditutup dan dihancurkan. Dia sedikit dari murid yang tetap berani masuk sekolah. Sebagian temannya terpaksa eksodus.

"Orang-orang tidak meninggalkan tanah airnya karena keinginan mereka sendiri. Hanya kemiskinan dan urusan asmara yang biasanya membuat mereka angkat koper demikian cepat." Itu yang dikatakannya saat usianya baru beranjak 12 tahun.

Kini, usianya baru 15 tahun. Siapa yang tidak penasaran mengetahui  bagaimana cara orang tuanya mendidik anak seperti Malala.

Jumat, 09 November 2012

Hari Pahlawan dan Sejarah

Strategi paling jitu untuk menghancurkan suatu bangsa adalah dengan membuatnya melupakan sejarahnya sendiri. Begitu juga sebaliknya, pengokohan karakter sebuah bangsa bisa berjalan tegap bila disanggah lewat penopang kesadaran sejarahnya sendiri sampai ke akar-akarnya.

Bahkan bila diperlukan, sampai pada tahap penciptaan mitos. Turki Sekuler, Bangsa Mongol dan Jepang pernah melakukannya dan terbukti berhasil mencatatkan diri dalam lipatan ingatan sejarah tentang bangsa-bangsa besar.

Totalitas kesadaran bisa dipantik lewat pengetahuan dan pengakuan sebenar-benarnya bahwa kita yang manusia yang hidup di abad 21--dalam hitungan angka--adalah satu-satunya makhluk hidup yang berpotensi mampu "menyejarah".

Ada yang menyebut, mitos adalah sesuatu yang tidak bisa disalahkan tetapi juga tidak bisa dibuktikan. Namun pernah ada yang bilang, mitos adalah ilusi yang bisa menjadi realita. Barangkali poin kedua ini yang dipercayai oleh Kamal At Taturk, Timur Lenk dan Mutsuhito. Mereka berkeyakinan bahwa mitos adalah "sesuatu yang tidak disalahkan dan memang bisa dibuktikan." Dan dunia mengenal mereka benar pada titik ini.

Secara berulang-ulang, memang perlu bagi kita untuk mengingat sepenggal kalimat dari seorang penulis Ceko yang masih hidup sampai sekarang: sejarah adalah perlawanan melawan lupa.

Selamat hari pahlawan, 10 November 1945.