~

~ Sengkarut ide, serakan asa dan serpihan momen::

Kamis, 22 Maret 2012

Terusan Suez: Dari Ambisi Hingga Perang

Dalam perjalanan ke kota Ismailiyah, rombongan kami menemukan sebuah objek sejarah yang penting. Kami menemukan rumah konseptor pembangunan Terusan Suez.


Foto ini diambil di depan rumah dan kantor Ferdinand de Lesseps, maestro pembangunan terusan Suez. Semenjak ekspansi Perancis ke Afrika Utara, Kaisar Napoleon Bonaparte berniat membangun kanal untuk kapal-kapal yang akan berlayar ke laut lepas. Naiknya Said Pasha, anak Muhammad Ali Pasha pada tahun 1854, menjadi penguasa di Mesir, impian kanal menemukan nasib baiknya. Mereka berdua adalah sahabat karib di Perancis. Said Pasha menunjuknya mengepalai proyek terusan ini. Dan de Lesseps membuktikan dirinya berhasil.

Rumah de Lesseps, terhitung besar dan terawat. Bentuk bangunannya mengingatkan kami pada bentuk rumah-rumah peristirahatan Belanda di Indonesia. Jendela rumah berukurang panjang dan lebar, taman-taman di sekelilingnya, atap rumah bergenting menunjukkan kepada kami seperti sedang tidak berada di Mesir tatkala memandangnya. Sekitar 500 meter, kita bisa langsung melihat Terusan Suez, mendengar deru ombak dan memandangi kapal-kapal lewat dari Asia-Eropa.

Tidak jauh dari rumah de Lesseps, ada sebuah Distrik Nakhil. Rumah-rumah di sana dibangun juga dengan konsep Eropa. Dulu, kawasan ini adalah tempat pegawai Eropa yang bekerja di perusahaan Terusan Suez. Perusahaan ini sahamnya dulu dikuasai Perancis dan Inggris sebelum dinasionalisasi.

Diceritakan, Khediv Ismail, keponakan Said Pasha yang memerintah Mesir setelahnya pada 1867 telah menyebarkan undangan ke Eropa yang jumlahnya sekitar 6 ribu orang. 500 juru masak didatangkan dari Genova dan Marseille. Tamu-tamu akan menghadiri undangan itu, namun pembangunan kanal belum selesai. De Lesseps berlomba dengan waktu. Apalagi di terusan yang akan dilayari kapal-kapal dari Eropa, ada gundukan tinggi yang menghalangi kapal melintas.

"Ledakkan saja!" perintah de Lesseps.

"Itu mustahil." jawab para insinyur.

"Kita coba saja!" kata de Lesseps, "Kita tidak punya pilihan lain." Tidak tercantum sebelumnya anggaran untuk melaksanakan perintahnya.

Akhirnya, perintah itu dilaksanakan dan berhasil. Ganjalan itu hancur, air meluap muntah ke daratan padang pasir. Terusan Suez dibuka pada 19 November 1869 (versi lain mengatakan pembukaan dilakukan pada tanggal 16 atau 17 November). Ada yang bilang, orang-orang Mesir diperintahkan untuk berbaris di sepanjang tepian Terusan Suez guna menyambut rombongan tamu-tamu dari Eropa. Rau Eugenie, istri Napoleon III bahkan mengatakan, ia tidak pernah melihat pesta semegah ini dalam hidupnya. Terusan Suez memanjang sekitar 193 kilometer, melewati tiga kota utama; Port Said (Laut Tengah), Ismailiyah dan Suez (Laut Merah).

Sebelum Terusan Suez dibangun, transportasi dilakukan dengan mengangkut barang-barang antar pelabuhan Port Said dan Suez dengan transportasi darat.

Ketika masuk ke Ismailiyah lewat dalam (bukan lewat jembatan), akan kita dapati patung monument untuk mengenang rakyat Mesir yang menggali Terusan Suez. Monument itu menggambarkan seorang petani yang tegap memegang cangkul.

Konon, setelah penjelajah Vasco Da Gama menemukan Tanjung Harapan di Afrika Selatan, kapal-kapal yang datang tidak lagi kembali ke Mesir, tapi memilih berlayar melintasi sepanjang pinggiran Afrika. Setelah Kerajaan Inggris Raya berhasil menjadikan India sebagai salah satu negara jajahannya, jalur pelayaran Tanjung Harapan dimonopoli oleh Inggris. Hal ini membuat panas Perancis.

Perancis perlu melakukan sesuatu untuk mengembalikan kejayaan dan kehebatannya. Akhirnya disiasatilah untuk membangun Terusan Suez. Namun semua usaha untuk mewujudkannya berujung gagal, disebabkan waktu itu, ada keyakinan yang pada akhirnya terbukti salah bahwa permukaan air Laut Merah lebih tinggi ketimbang permukaan air Laut Tengah.

Napoleon pernah memberikan tugas kepada salah satu insinyurnya untuk mempelajari kemungkinan membuat Terusan di tanah Mesir. Hasil penelitian yang dilakukan oleh tim risetnya terbukti salah. Waktu itu, dikatakan tidak memungkinkan melaksanakan misi itu karena ketinggian permukaan air Laut Merah dan Laut Tengah tidak sama.

Baru ketika Mesir dipegang oleh Muhammad Said Pasha, perencanaan pembangunan ini menemukan titik nyata. Proyek pembangunan ini membuat Inggris ketakutkan karena kepentingannya di kawasan pelayaran Afrika terancam. Terusan ini dibangun selama 10 tahun (1859-1869)

Presiden Gamal Abdul Naser pada 26 Juli 1956 memutuskan untuk menasionalisasi Terusan Suez. Keputusan ini menyulut serangan dari Amerika, Perancis dan Inggris terhadap wilayah Mesir. Dalam perang Enam Hari pada pada 1967, Israel berhasil menguasai Terusan Suez. Dan dalam perang Yom Kippur pada tahun 1973, tentara Mesir berhasil merebut kembali Suez. Dalam sejarahnya, perang ini menjadi simbol keberhasilan Terusan Suez berhasil sepenuhnya kembali ke tangan Mesir. Pada tahun 1975, Terusan Suez akhirnya dibuka untuk umum setelah ditutup sementara pada masa perang.

Terusan Suez di Kota Ismailiyah

Senin, 19 Maret 2012

Alun-alun dan Kedai Kopi

#1
Pagi bersinar. Langit beraut cerah. Musim semi menghembuskan dan menyebarkan udara segar. Alun-alun kembali membuka mata dengan sisa-sisa yang masih sama. Toko-toko menggulung pintu. Susu dan roti fathirah laris dijajakan. Kedai-kedai kopi menyambut siapa saja, baik para pekerja maupun pengangguran.

Aku duduk, di hadapanku ada secangkir teh hijau. Sesekali aku mengamati sekitar, kali lain membuka memori. Aku menikmati kesehatan, harapan dan cita-cita, serta mimpi-mimpi anak muda.

Akal pikiran tak luput keruh akibat polusi yang mengotori udara jernih. Ada pria bermata sayu, setelah menangis dan tidak bisa tidur semalaman, bertanya soal kantor kesehatan. Ada wanita lansia mencari-cari jalan pintas dijebloskan ke penjara Mesir, karena terpuruk dalam masalah demi masalah setiap hari. Pada saat yang sama, suara Umi Kultsum mengalun merdu dari radio, melipur pagi mereka yang mendengarkannya. Aku menyeruput teh, bergembira, ngobrol tenang sampai semua kekeruhan ini sirna lalu keindahan menampakkan diri tanpa mau tergerus perubahan zaman.

#2
Hari beranjak siang. Makanan Kabab tiba. Pelayan berlalu sambil mengangkat teko dan gelas. Hidangan ini sebagai menu makan siang.

Temanku membuka percakapan, "Kemacetan hari ini mencengangkan."

"Alun-alun selalu disemuti orang-orang." Kataku tanpa peduli.

"Tetapi hari ini, sudah di luar batas kewajaran."

Seorang pelayan ikut nimbrung ke dalam obrolan kami, bersemangat dengan gaya lama, "Semua orang kini berubah. Mereka sudah tidak seperti yang dulu lagi…"

"Mahasuci Dzat yang memiliki keabadian." sahut kawanku.

Pelayan itu meneruskan bicaranya, "Kamu tanyakan pada salah satu dari mereka, apa yang membuatnya berubah. Ia akan mengingkarinya dan mengira, yang berubah adalah orang lain. Beginilah kenyataannya, dunia seisinya sudah berubah."

Kami berdua mulai menyantap makanan, dan aku masih memikirkan perbincangan yang baru saja kudengar. Aku melempar komentar dengan nada menenangkan, "Begitulah manusia di manapun dan kapanpun."

#3
Selang waktu dari Dzuhur sampai Ashar, kami tidak meneruskan obrolan. Kami memandangi apa yang tengah terjadi dengan mata linglung.

Sahabatku bertanya-tanya, "Apakah kemacetan ini terjadi setiap hari?"

"Sama sekali tidak." Aku menyahut mengakui, "Bahkan di hari-hari perayaan sekalipun."
Kemacetan melebat dalam bentuk yang mengherankan. Tanah sudah tak terlihat lagi, diinjak telapak kaki manusia, laki-laki, perempuan, anak-anak. Toko-toko kekenyangan pelanggan. Kegaduhan melengking, berlomba sengit dengan suara radio. Setiap ada niat untuk memborong, seolah-olah mereka hendak menimbun atau membutuhkannya karena akan pergi jauh. Alun-alun bak arus tanpa ujung berwujud kerumunan orang yang berteriak keras saling bersautan. Segala sesuatu berlangsung begitu cepat dan gila-gilaan mempengaruhi kebutuhan. Pengemis jalanan tidak punya tempat, terpelanting di udara. Tempat lahirnya transaksi jual-beli dan kawah kesabaran yang sia-sia ini hibuk sonder letih. Temanku berkomat-kamit, "Wahai Dzat yang menampilkan kelembutan, lindungi kami dari segala yang menakutkan kami."

Kami berdua ngakak. Tawa kami seperti ketololan.

#4
Jeda waktu dari terbenamnya matahari hingga malam, orang-orang terburu-buru berpencar dan menghilang. Dalam kondisi kacau dan ruwet, syaraf-syaraf kerap menegang, api percekcokan, adu mulut dan adu jotos begitu gampang tersulut. Gelombang manusia menyurut, keriuhan kerumunan orang mereda, suara teriakan dan saut-sautan menyusut pelan-pelan. Alun-alun sepi senyap. Padahal biasanya, baru beranjak sepi di sepenggal ujung malam.

Aku berpikir untuk bertanya saja pada polisi lalu lintas, namun aku melihat emosinya mendidih, wajahnya cemberut, maka aku memilih langkah aman saja.

Tiba-tiba, toko-toko mulai mengunci pintu dan rumah-rumah menutup jendelanya. Gelap menguasai, kesenyapan dan kelengangan tengah menyelimuti alun-alun. Para pelanggan kedai kopi saling melempar pandang penuh kebingungan.

"Apa yang terjadi pada dunia ini?"

"Ini loh koran. Tidak ada berita apa-apa di sini."

"Tetapi rasanya, sesuatu tengah terjadi. Aku yakin."

"Kita harus pergi. Apa yang membuat kita terus-terusan duduk di sini?"

"Kita menunggu siaran berita."

"Entah nanti terjadi sesuatu atau tidak, kita bakal berjumpa lagi."

"Di rumah? Siapa di rumah?"

Seorang lelaki berdiri dan berkata, "Hatiku yang bilang demikian padaku."

Belum tuntas menyelesaikan ucapannya, ia memberi isyarat dengan tangannya, namun isyaratnya kabur. Lalu ia berlalu begitu saja. Kepergiannya turut mendorong mereka yang bingung. Mereka menyelinap, menghilang satu persatu. Aku beranjak bersama karibku dan pada akhirnya, kebingungan masih tetap merajai kami berdua.

"Kepalaku serasa berputar." katanya padaku, "Demi Tuhan, ceritakan padaku apa yang terjadi."

Aku menjawab dalam keadaan habis kesabaran, "Semua yang terjadi, biarlah terjadi. Apa yang bisa kuceritakan padamu tentang sesuatu yang belum terjadi?"


*Diterjemahkan dari Antologi Cerpen "Al Fajr Al Kadzib" karya sastrawan Mesir, Naguib Mahfoudz. Cerita pendek kedua puluh dua, "Al Midan wa al Maqahi"