~

~ Sengkarut ide, serakan asa dan serpihan momen::

Sabtu, 24 November 2012

Ia Yang Bernama Kehilangan

Seorang lelaki duduk termenung di sudut café El Fisawhy. Ia membolak-balik secarik kertas yang ia temukan terselip di bawah pintu flatnya. Ia masghul mendapati hal aneh pagi tadi. Ia masghul lagi setelah membaca isinya. Ia duduk termenung menunggu teman lamanya datang. Seorang pelayan yang sudah dikenalnya 7 tahun lalu menghidangkan secangkir kopi Turki yang ia pesan.

Teman yang ia tunggu datang. Setelah mempersilakan duduk dan tanpa menanyai kabar, ia berikan kertas kuning yang sudah ia remas-remas. Ia menyuruhnya membacanya. Sahabatnya penasaran. Lekas-lekas ia membukanya lalu yang mendapatkan pesan itu mendengar mulut temannya berkata, “Terbuat dari apakah ia yang bernama kehilangan?”


Lelaki itu hanya bisa menjawab, “Aku tidak tahu darimana ia berasal. Aku hanya bisa merasakannya.” 

“Apa yang kamu rasakan?”

“Saya teringat masa kecilku, yang direnggut Tuhan ketika ia  merenggut kedua orang tuaku.

“Saya kehilangan cerita berorang tua dan sejak saat itu, saya nyaris seorang bocah yang dipaksa berumur 23 tahun.”

“Semua yang baik datang dariNya. Semua yang buruk…”

Lelaki itu cepat menukas, “Juga datang dariNya.”

Temannya masih tenang meneruskan, “Semua yang buruk datang bukan dariNya.” 

“Tidak juga!”

“Kok?”

“Lihat kelaparan di Afrika! Lihat aku yang tumbuh tanpa orang tua!”

Temannya menghela nafas panjang. Ia juga menyadari kedlaifannya menerangkan asal usul kehilangan dengan detail. Ia hanya bisa bilang, “Selama kamu menghadapi Tuhan dengan masa lalumu, selama itu pula Ia menjumpaimu dengan segala takdir buruk.”

Namun lelaki itu tetap keukeuh. “Semua temanku yang berorang tua mengujariku: tidak ada obat mujarab di dunia selain kampung halaman.

“Barangkali dari sana, kehilangan ini berasal. Karena aku punya kampung halaman.”

“Bukankah kamu yang selalu bilang padaku, segala sesuatu datang berantai. Lihatlah dirimu sendiri, kawan, buah dari masa lalumu sendiri!”

“Tuhan yang menjadikanku seonggok masa lalu yang tak mati-mati.”

“Bukan. Ingatanmu sendiri yang menciptakanmu seorang masa lalu. Jika kamu bisa melenyapkan ingatan dari dirimu, tentu kamu tidak akan menyuruhku datang untuk ngobrol urusan sentimental semacam ini. Tapi kupikir, itu tidak mungkin…”

“Ayo! Tunjukkan cara melenyapkan ingatan kepadaku!”

“Tidak mungkin bisa. Semua orang punya ingatan, kawan.” 

“Dan terbukti kan, benih kehilangan ini lahir dari rahim ingatan.”

“Tapi itu bukan satu-satunya, kawan. Jangan sering-sering melibatkan Tuhan dalam urusan keburukan. Jika memang benar apa yang kamu katakan, kiamat sudah terjadi dari dulu.”

Kawannya memesan syahlab. Sejenak mereka berdua menikmati minuman. Pelayan yang akrab dengan keduanya ingin sekali terlibat dalam pembicaraan. 

Kawannya berpikir sejenak kemudian berkata, “Tidak semua yang pergi pasti hilang sebagaimana tidak semua yang ditunggu mesti datang. Biarkan semua menghampiri kehidupan kita, baik dengan permisi maupun tidak. Kita tidak perlu menyalahkan apa-apa. Musim dingin tidak pernah menyalahkan musim gugur yang menggugurkan dedaunan dan bebungaan. Bukankah karena itu, tidak ada yang dibawa musim dingin selain musim semi selepas ia pergi? 

“Kehilangan memiliki bayangan, kawan. Nama bayangannya kerelaan.”

Lelaki itu menelan omongan temannya dalam-dalam. Pelayan tua tadi datang ketika ia minum pahit sisa kopinya.

“Aku punya cerita.” selanya.

Kedua pemuda itu hormat kepadanya. Mereka meminta beliau duduk menemani barang sejenak. Kebetulan café sedang sepi. 

“Beberapa minggu di sini aku berjumpa seorang turis yang mengaku tengah menulis novel. Dia berkepala tiga. Ketika aku menghidangkan minuman pesanannya dan mempersilakannya, dia tiba-tiba bilang kehilangan ide meneruskan tulisan. Gara-gara dialog yang diucapkan oleh tokoh rekaannya sendiri. Kata si tokoh, ‘setiap orang merasa menderita kehilangan sesuatu atau seseorang yang paling ia miliki dan paling ia ingini. Kira-kira bagaimana rasanya kehilangan sesuatu atau seseorang yang sudah paling ia ingini dan akan paling ia miliki?’ Dia berhenti menulis, memilih ke sini duduk berjam-jam memikirkan rasa kehilangan yang demikian rupanya.”

Kedua pemuda itu larut menyimak. 

“Obrolan kalian mengingatkanku padanya. Sebelum aku izin permisi, aku dititipinya satu pertanyaan: terbuat dari apakah ia yang bernama kehilangan? Kamu kehilangan masa lalu yang paling kamu ingini, lantas kamu simpulkan ia datang dari ingatan. Tapi si tokoh itu! Dia belum punya ingatan tentang masa depan. Ia hanya dihampiri kenyataan kehilangan apa yang paling ia ingini dan akan paling ia miliki.”

Sebelum beranjak berdiri, pelayan tua itu mengeluarkan sesobek kertas dari sakunya. “Ini nomor telepon dan alamat hotel dia menginap.”

Kedua pemuda saling tatap, tersenyum seperti sudah sepakat dengan apa yang mereka berdua akan lakukan bersama. 

Pelayan tua tersenyum melihat mereka berlalu. Ia kira-kira tahu, apa yang akan mereka cari. Bila bertemu mereka lagi di sini, ia ingin bertanya, “Betulkah kehilangan terbuat dari ingatan?” 

Kairo, 24 November 2012

Jumat, 23 November 2012

Di Bethlehem

Aku sedang dalam perjalanan menuju Bethlehem bersama Tuan Gou dan Silva.

Aku duduk di kafe kecil yang terletak di selatan Quds. Sebuah kafe yang begitu dekat dengan pembatas-pembatas besi yang dengan dungu dijaga oleh bighal dan pengemudinya, kendaraan, anjing-anjing dan sederet kendaraan besi buta, besar, warna kuning yang bernama buldoser, berdiri berjejer.

Kuminum kopi yang dihidangkan oleh pelayan yang masih seorang bocah. Saya tanya, mengapa bekerja di sini sementara sudah seharusnya ia duduk di bangku sekolah. Ia menjawab, “Sekolah yang mana Tuan? Madrasah-madrasah sudah mereka tutup!”

Bocah belia itu mengarah ke para penjaga, “Mereka tidak menginginkan satu pun dari kami belajar. Mereka mau kami seperti ternak yang mereka kendarai. Tapi suatu saat jika sekolah-sekolah sudah dibuka kembali, saya akan masuk walaupun umur saya sudah kepala tiga.”

“Siapa namamu, Nak?” saya bertanya lagi.

Ia menjawab, “Farhan.”

“FARHAN?” Terkejut saya.

“Bayangkan,” sahutnya, “Farhan namaku.” Ia menganggukkan kepala lalu permisi.

Ketika kembali ke hadapanku, anak itu menanyaiku, barangkali saya butuh sesuatu.

“Tidak, aku tidak butuh apa-apa,” jawabku, “Aku sedang menunggu dua karibku yang pergi ke pos pemeriksaan untuk menyelesaikan berkas kami.”

“Justru karena itu,” ia menjelaskan, “pesanlah makanan atau minuman. Mereka tidak akan kembali sebelum satu jam.”

Aku kembali menanyainya, “Farhan, apakah kamu punya saudara?”

“8 laki-laki dan 4 perempuan.”

“Dan nama-nama mereka semirip namamu?”

“Sangat-sangat mirip. Ibu menamai saudara perempuanku dengan nama bunga: Wardah, Nasren, Yasmin, Ghuriya. Dan nama saudara laki-lakiku: Jamal, Said, Raghid, Bahgat, Nasr, Naef dan Fawaz.”

“Seoptimis itukah ibumu, Nak?”

“Tidak, Tuan.” Sanggahnya. “Hanya untuk membuat mereka-mereka marah.” Ia kembali menunjuk ke para penjaga itu.

Benar, kawan. Penduduk di sini menghadapi getirnya hidup dengan keringat kerja, sepotong senyum, seonggok kesabaran dan nama-nama baik yang disematkan ke anak-anak mereka.

Di tanah landai yang terang ini, Quds terpisah dari Bethlehem. Aku menoleh ke belakang, menatap Quds. Aku pandangi ia, seperti tempat lilin, mercusuar tinggi di atas bebukitan. Rumah-rumah terang benderang. Begitu juga segala pepohonan yang ada: zaitun, sikamore, eek, samak, salam. Bahkan lorong-lorong yang seperti mau menelan kami dan kabut pagi yang asih juga terlihat begitu padang di mata...

Aku menoleh ke depan, menatap Bethlehem. Aku pandangi ia, bak secangkir kopi yang terdiam tenang di atas bukit yang luas. Cahaya dari kediaman dan jalan-jalan mengalir ke arah kami bersama halimun.

~ Sepenggal dari novel Madinatillah, Hasan Hamid. Saya cuplik dari bab "Di Bethlehem" (bagian yang saya suka). Aku di sini adalah Vladimir, seorang pelancong berkebangsaan Rusia, yang menceritakan perjalanannya ke Kota Tuhan lewat surat-suratnya yang dialamatkan ke Ivan, dosen di  Universitas Saint Petersburg yang mengajarinya bahasa Arab.

Kamis, 22 November 2012

Lelaki Penterjemah Darah


Lelaki kurus itu marah
Kepada sebilah tanah bernama Gazah
Yang ia pandangi tidak bisa berubah
Bernama nukbah yang lebih tua dari umurnya yang sayah

Lelaki kurus itu tidak habis mengerti
Kepada diri dan benaknya sendiri
Yang masih kuat menterjemah darah setiap hari
Dan setiap bulan mengambil gaji

Lelaki kurang cerdas itu berpikir
Jika berhenti, apa perang akan berakhir
Dan masa depan biar mengikuti takdir
Biarkan mengalir dan tergenang seperti air

Lelaki bingung itu menyalakan rokok
Mengamati berita dengan pikiran mentok
Menyerapahi pimpinan yang dinilainya goblok
Membereskan asbak dunia yang kenyang puntung rokok

Sudah jutaan rintihan doa diangkat ke atap langit
Sudah jutaan mulut meneriakkan pertolongan
Sudah jutaan waktu juga koran pagi menulis
Gazah adalah perang, perang adalah Gazah

Lelaki kosong itu bingung berbuat apa
Selain,
Keluar rumah memutari pasar mencari strawberry
Ia pisahkan yang segar dari yang busuk
Ia lumat kuat-kuat yang busuk dengan genggaman
Ia kucurkan keringat Palestina bernama Zaitun
Ia campur dengan cat merah dan hitam
Ia lumat kuat-kuat kembali
Ia genggam lumpur strawyberry wangi itu
Ia campakkan ke gabus putih yang polos
Ia pandangi bercak berdarah dari buah musim dingin itu
Ia ambil satu persatu buah tak berdosa itu
Ia tancapkan dengan jarum dan paku
Ia jajarkan membentuk barisan kuburan manusia
Sepetak kuburan, cairan buah segar mengalir tak berhenti

Lelaki kisut itu seperti sadar
Atas setiap tanya yang sangat wajar
Sayang sekali, menyiakan bebuahan segar
Ia hanya bisa melempar komentar
Seperti itu, manusia Gazah berguguran dalam dunia yang masih sadar

Di pagi yang lelap, ia sendiri, menterjemah lagi

Senin, 19 November 2012

Mengingat Sisyphus

Semua berawal dari pertanyaan konyol. Kehidupan kita yang manusia di dunia berangkat dari pertanyaan konyol Iblis. Teman saya dalam sebuah kesempatan duduk di meja café melontarkan ucapan menggelitik dari seorang temannya, “Jangan pernah sepakat dengan apa yang disampaikan siapapun kepadamu!”.

Kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan tak urung lahir dari keisengan sebuah pertanyaan konyol. Pernah ada masanya, orang menanyakan kepemimpinan suatu negara bila tidak dipimpin oleh kaum filosof. Pernah ada masanya, orang bertanya mengapa rumput dan ilalang tumbuh di bibir sungai Nil setelah banjir. Dan pernah ada masanya, sekelompok orang mempertanyakan, kedatangan masa pencerahan dan kemajuan modernisme namun yang dituai oleh umat manusia tiada lain adalah perang dunia.

Waktu berjalan di zaman kita dalam suara denting jarum jam. Hey, kita hidup di tahun 2012 setelah masehi. Kita hanya “dust in the wind” dalam dua lajur mega waktu. Pertama, usia kehidupan alam semesta tempat keberadaan kehidupan manusia bermula hingga sekarang. Dan kedua, lajur keberadaan umat manusia membentuk sejarah dan peradaban dengan segala piranti-pirantinya.

Semakin bertambah tua usia alam semesta dan sejarah manusia, semakin banyak “sesuatu” yang bisa diketahui dan dipelajari. Kutukankah? Umat manusia masa kini “terkondisikan” untuk bisa mengetahui lebih banyak dari apa yang diketahui oleh umat manusia masa lalu. Begitu juga, umat manusia masa depan akan “terkondisikan” untuk memungkinkan bisa mengetahui lebih banyak dari apa yang sudah diketahui oleh umat manusia masa kini. Apakah bukan ironi, jika semakin banyak yang manusia ketahui, semakin banyak yang bisa ia lakukan untuk kehidupan mendatang. Sementara, orang melakukan sesuatu sebatas pada apa yang diketahuinya.

Saya mencoba mengkhayal. Seseorang yang hidup di zaman yang entah masih modernisme atau postmodernisme, ini merayapi seluk beluk filsafat dan kebijaksanaan dari zaman Yunani sampai sekarang. Saya berimajinasi, seseorang yang memiliki perkiraan kemampuan fisik untuk hidup sekitar 70 tahun mempunyai kualitas kemampuan akal dan hati yang berusia ribuan tahun.

Khayalan di atas dengan guyon barusan saya lontarkan kepada kawan-kawan serumah dalam obrolan malam ini. Saya menyimak obrolan ringan soal ilmu pengetahuan dan peradaban sebenarnya bertolak dari filsafat, perseteruannya di kemudian hari dan pada akhirnya kami pun dibuat sadar bahwa pendasaran dalam laku berpikir dan sikap hidup itu wajib. Filsafat sebagai jalannya. Dan meskipun nanti pada akhirnya semua orang membicarakan dan mempraktikkan filsafat—tentunya dengan bekal “pertanyaan konyol”—tidak serta membuat mereka semua menjadi postmodern. Bahkan, mahasiswa yang belajar di fakultas akuntansi tidak semuanya menjadi akuntan. “Ya, nanti ada yang terdampar di postmodern, ada yang terdampar di strukturalisme, ada yang di idealisme dan lain-lain. Kan gak keren kalau semua jadi postmodern.” Demikian kira-kira kawan saya mencoba menyimpulkan.

Semua itu akan mempengaruhi laku berpikir dan sikap hidup selama diamalkan. Semua itu diyakini mampu mengakarkan setiap apa yang hendak dilakukan dan bahkan diperjuangkan. Meski semua kita perlu menyadari dongeng seorang Sisyphus dengan batu di punggungnya.

Kecuali bila kita hanya mengandalkan kenyataan bahwa semakin lama zaman semakin cacat, semakin rusak dan demikian kodratnya sampai akhir—tidak ada yang bisa diupayakan—lalu ditutup dengan tiupan terompet malaikat Israfil.

Dari Sisyphus, kita disadarkan: ada yang bisa diperbuat, ada yang mesti dilakukan.

Selasa, 13 November 2012

Café Mesir: antara Suasana dan Sejarah

Mesir tanpa café seperti revolusi tanpa kepala. Negara yang digadang Khediv Ismail sebagai cerminan Eropa, ini berhasil menciptakan kesadaran bahwa keberadaan café (maqha) harus mampu menjadi ruang publik yang dinikmati oleh kalangan dengan beragam latar belakang.

Kolumnis Mesir pernah berguyon, secangkir kopi yang dihidangkan istri kepada suaminya, sangat berbeda dengan secangkir kopi yang disajikan oleh barista di café. Bila si suami menumpahkan kopi di meja, yang terjadi kemudian adalah bentakan istri memarahinya karena lengah di sela-sela baca koran. Berbeda dari bila kecelakaan kopi tumpah berlangsung di café. Pelayan akan datang membersihkan meja dan menghidangkan secangkir kopi yang hangat. Penulis yang saya lupa namanya, itu menghadirkan tawaran suasana dan tuah café Mesir.

Selain suasana, café juga sudah menyejarah di Mesir.

BAB EL LOUQ, 1936. Yusuf Efendy mendirikan café yang ia beri nama Hurriyah (kebebasan) di sekitar Bab el Luq square. Awal dibuka, perjalanan café buntung karena letaknya yang tidak strategis: jauh dari pemukiman penduduk dan dari gerak laju orang. Kondisi miris ini berlangsung hingga tahun 1942—berbarengan dengan meletusnya Perang Dunia II. Dengan banyaknya berdatangnya pasukan sekutu (Inggris) ke Mesir, café ini mulai menemukan tuahnya. Tentara sekutu menggemari café Hurriyah karena kualitas sajian minuman dan harga yang terjangkau. Sejak saat itu, bangsawan, tentara, polisi, seniman menemukan seleranya di sana. Café Hurriyah masih bertahan sampai sekarang dan hanya ada beberapa renovasi. Presiden Anwar Sadat termasuk dari sederet tokoh yang menjadi pelanggan café Hurriyah.

DI ANTARA MOSKY DAN ATABAH, ada café Matatiya—salah satu café bersejarah yang pernah disinggung dalam novel La Ahada Yanamu fil Iskandariyah. Café ini lekat dengan nama Jamaluddin Al Afghani, tempat ia menghisap sisya sepanjang hari dan mengobrolkan revolusi kepada orang-orang. Ia menjadi saksi revolusi 1919, yang dipimpin oleh Saad Zaghlul, pemimpin Pergerakan Nasionalisme Mesir. Café Matatiya dikenal sebagai café paling bersejarah di Mesir karena banyak peristiwa besar lahir dari tiap kursi yang diduduki tokoh besar seperti Zaghlul, Abdullah Nadim, Mahmud Sami al Barudy.

DISTRIK AL AZHAR, berdiri café El Fishawy yang masih kokoh sampai sekarang dan banyak didatangi turis. Dibangun pada 1797 oleh Hag Fahmi Ali El Fishawy. Nama café ini kerap dilekatkan dengan nama sastrawan Mesir, Naguib Mahfoudz. Beberapa karya perdananya tak jarang mencantumkan namanya.

3 café di atas hanya satu nafas dalam denyut sejarah café negeri yang, disanjung Napoleon, sebagai “negeri yang tak pernah mengenal kesedihan.”

Rasha Adly, penulis Mesir berimajinasi dengan bangga tentang tradisi ber-café rakyat Mesir. Pada masa ketika barang elektronik seperti televisi dan radio belum masuk ke rumah-rumah, ia melontarkan pertanyaan, bagaimana nenek moyang mereka menghabiskan waktu dan menikmati masa senggang mereka? Ia berkesimpulan, mayoritas buruh yang bekerja sebagai pengrajin bekerja dengan durasi pendek, tidak mengherankan apabila pendahulunya bisa menciptakan tempat bersama guna menghabiskan waktu luang dan menghibur diri. Dua tempat terfavorit waktu itu adalah café dan pemandian umum.

Orientalis Inggris Edward William memperkirakan lebih dari 1000 café tersebar di pusat dan sudut Kairo ketika jumlah penduduk Kairo sekitar 300 ribu orang. Diperkirakan perempuan Kairo separuh dari penduduk total. Jumlah anak-anak 50 ribu orang. Sisanya, tinggal 100 ribu pria. Artinya 1 café untuk 1000 pria.

Dalam buku Al Qahirah: Al Madinah wa Ad Dzikrayat (Kairo: Kenangan Sebuah Kota), Rasha menyinggung kebiasaan orang-orang Mamalik—yang dikenal sebagai bangsa pecinta buku—yang memiliki café-café khusus untuk menghirup ganja dan minum arak yang terletak di sepanjang kawasan Bulaq. Begitu juga bangsa Turki Utsmani mempunyai café-café khusus di distrik Shalibiyah. Para Basybazug (orang yang menyewakan dirinya untuk pergi berperang) berlanggganan di sana.

Terakhir, mari kita simak deskripsi dari Sejarawan Bares Dauphin tentang satu suasana bercafe di Mesir:

“Terlihat banyak batu api (korek) dan sisya Lattakiya Suriah. Para penganggur datang minta belas kasih di tempat terhormat itu karena kelesuan nasib mereka. Petani-petani miskin sedang melupakan kesengsaraan dalam tegukan kopi arab yang diteguk dengan nikmat… Orang-orang duduk berkumpul dengan urusan masing-masing dan sesekali didatangi pengemis yang mencoba meminta perhatian mereka dengan kisah-kisah majnun ketika dilihatnya mereka jarang tertawa.”

Senin, 12 November 2012

Malala Yusufzai


Namanya Malala Yusufzai. Seorang muslimah berdarah Pakistan. Dunia mengenalnya sebagai pejuang hak perempuan.  9 Oktober lalu, orang bersenjata Taliban mencoba membunuhnya dalam perjalanan pulang dari sekolah. Ia ditembak di bagian kepala dan leher. Puji Tuhan, ia hidup dan bertahan.

Di mata penembaknya, ia melakukan kesalahan fatal: tetap masuk sekolah dan berang melihatnya banyak sekolah di tempat ia tinggal ditutup dan dihancurkan. Dia sedikit dari murid yang tetap berani masuk sekolah. Sebagian temannya terpaksa eksodus.

"Orang-orang tidak meninggalkan tanah airnya karena keinginan mereka sendiri. Hanya kemiskinan dan urusan asmara yang biasanya membuat mereka angkat koper demikian cepat." Itu yang dikatakannya saat usianya baru beranjak 12 tahun.

Kini, usianya baru 15 tahun. Siapa yang tidak penasaran mengetahui  bagaimana cara orang tuanya mendidik anak seperti Malala.

Jumat, 09 November 2012

Hari Pahlawan dan Sejarah

Strategi paling jitu untuk menghancurkan suatu bangsa adalah dengan membuatnya melupakan sejarahnya sendiri. Begitu juga sebaliknya, pengokohan karakter sebuah bangsa bisa berjalan tegap bila disanggah lewat penopang kesadaran sejarahnya sendiri sampai ke akar-akarnya.

Bahkan bila diperlukan, sampai pada tahap penciptaan mitos. Turki Sekuler, Bangsa Mongol dan Jepang pernah melakukannya dan terbukti berhasil mencatatkan diri dalam lipatan ingatan sejarah tentang bangsa-bangsa besar.

Totalitas kesadaran bisa dipantik lewat pengetahuan dan pengakuan sebenar-benarnya bahwa kita yang manusia yang hidup di abad 21--dalam hitungan angka--adalah satu-satunya makhluk hidup yang berpotensi mampu "menyejarah".

Ada yang menyebut, mitos adalah sesuatu yang tidak bisa disalahkan tetapi juga tidak bisa dibuktikan. Namun pernah ada yang bilang, mitos adalah ilusi yang bisa menjadi realita. Barangkali poin kedua ini yang dipercayai oleh Kamal At Taturk, Timur Lenk dan Mutsuhito. Mereka berkeyakinan bahwa mitos adalah "sesuatu yang tidak disalahkan dan memang bisa dibuktikan." Dan dunia mengenal mereka benar pada titik ini.

Secara berulang-ulang, memang perlu bagi kita untuk mengingat sepenggal kalimat dari seorang penulis Ceko yang masih hidup sampai sekarang: sejarah adalah perlawanan melawan lupa.

Selamat hari pahlawan, 10 November 1945.

Rabu, 31 Oktober 2012

Memento



Setiap detik selalu berbunyi sama. Saban pagi tak pernah datang cepat atau terlambat. Waktu tak pernah terjungkal dalam tempo yang fals. Musim dingin tiba dengan  gigil dan musim panas  esok menyapu dengan sengat. Manusia selamat merasai waktu karena memahami betuh arti suasana. Suasana merawat ingatan. Tapi sedikit yang berani merasainya secara tuntas kala benar-benar sendiri.

Apakah kesendirian lebih menakutkan daripada Mephisto? Berani bertaruh, berapa banyak orang yang tidak ketakutan pada kesendirian? Barangkali dengan bersama kesendirian, setiap orang merasa tidak pernah tuntas dengan dirinya sendiri. Dan suasana membantu melengkapinya di dalam ingatan. Seorang bisa saja tiba-tiba dijenguk oleh ingatan; barangkali sekarang aku sudah di Paris, mungkin saat ini aku sudah bahagia, dan aku kini sedang duduk bersamamu…

Semuanya masih utuh di dalam denyut hidup: kasih sayang, kebencian, janji, dusta, pengkhianatan, harapan dan keputusasaan.  Kematian tidak sepenuhnya bisa memutus nyawa ingatan. Karena bagi saya, ia adalah cermin dari dua tujuan yang digapai banyak orang setelah mati: surga dan neraka.

Ia bisa teduh seperti bidadari yang senyumannya memaku pandanganmu. Ia juga bisa sadis seperti iblis yang tak bisa kau tolak jemari panjangnya melilit tubuhmu. 

Dalam suasana dan ingatan, manusia hidup sekaligus mati.

Jumat, 05 Oktober 2012

Aku Ingin

Aku merindukanmu
Seperti lara merindukan lipur
Aku mencintaimu
Seperti lipur mencintai lara
Ajari aku
Merindukanmu
Mencintaimu

Gelap tidak pernah membenci cahaya
Cahaya tidak berniat menelan gelap
Mereka berkelambu
di keremangan hati yang sedu

Kita dekat
sedekat langit dan bumi
Kita jauh
sejauh gula dan kopi

Cinta adalah ruh Tuhan
Yang ditiupkan Jibril
Di jiwa-jiwa yang mengenal luka

*Akar, 12 Mei 2011.

Kamis, 26 April 2012

Malam Minggu dengan Symphonic Concert

Pada malam Minggu 14 April lalu, saya memberanikan diri untuk datang ke Cairo Opera House. Lewat informasi dari halaman resmi facebook tempat pertunjukan utama di Kairo ini, saya mendapati informasi acara pertunjukan musik klasik: Symphonic Concert dalam Cairo Symphonic Concert Season 53.

Malam itu, saya datang ke sana untuk pertama kali. Seorang diri. Mengenakan setelan celana hitam, kemeja dan jas biru, dengan sepatu pantopel cokelat. Seorang teman bilang, berpakaian rapi—seperti cara berpakaian yang saya tunjukkan kepadanya sebelum berangkat—sudahlah cukup diizinkan untuk masuk, tanpa perlu mengenakan dasi. Naik kendaraan umum dua kali, ngoper dari Hay Sabi', kemudian berganti kereta api bawah tanah jurusan Giza, turun di stasiun Opera. Tiba di sana, waktu baru menunjuk sekitar pukul tujuh, jeda satu jam sebelum konser dimulai.

Lalu saya mendatangi loket. Petugasnya ramah dan semuanya berdasi. Saya katakan kepadanya, ingin duduk di balkon opera. Karena berstatus mahasiswa, saya cukup membayar 15 Pound. Tempat duduk saya bernomor 38, lantai satu. Sama-sama menikmati waktu, saya memilih untuk menghabiskannya di dalam saja, sambil mengamati tata ruang opera dan mencari-cari jadwal pertunjukan yang terpampang. Seorang petugas yang berjaga di depan pintu masuk—berkemeja putih, berjas merah tua dan tentu saja berdasi—mengatakan kepada saya untuk duduk di ruang tunggu, luar Main Hall. Pertunjukkan belum dimulai, alasannya.

Sambil memandangi orang-orang datang berduyun, berpasangan, tua muda, saya mencoba menipu waktu dengan membaca novel La Ahadu Yanamu fil Iskandariyah yang sengaja saya bawa sebagai teman perjalanan. Sambil mempersilakan para hadirin untuk duduk di tempat tunggu, bapak petugas memandang dan kemudian menanyai saya. Ia mempersoalkan dasi. Ia menyarankan saya untuk turun meminjam ikat leher ke bagian informasi. Saya dapatkan dasi pinjaman dengan menyerahkan identitas paspor yang baru bisa diambil setelah pertunjukan selesai. Persoalannya: saya lupa memakai dasi (terakhir kali memakai dasi adalah masa belajar di Aliyah 7 tahun lalu). Saya tertolong oleh seorang supir Opera yang dengan ramah memakaikan dasi untuk saya. "Now you are awesome," ujarnya.

Ada dua alasan mengapa pada akhirnya saya bertekad ingin melihat pertunjukan musik klasik malam itu. Pertama, akhir-akhir ini, keakraban telinga dengan musik klasik mulai tumbuh. Memang masih sedikit, nama-nama komposer dan musik gubahan mereka yang saya kenal, tetapi keberadaan kelas biola The Fiddles Rumah Budaya Akar turut membantu menumbuhkan kecintaan saya pada jenis musik tersebut. Mendengarkan musik klasik apalagi sudah mampu menikmatinya saya anggap sebagai langkah eksternal untuk memupuk kepekaan feeling bermain biola. Kedua, simpel saja. Rasa penasaran ingin menyaksikan seberapa megah Main Hall Cairo Opera House yang sebelumnya hanya saya dengar dari cerita kawan-kawan.

Pintu Main Hall sudah dibuka. Para hadirin dipersilahkan masuk. Saya duduk di kursi balkon sebelah kanan, nomor 38. Mata saya memutari gedung megah yang dibangun berkat hadiah dari pemerintah Jepang setelah kunjungan mantan Presiden Husni Mubarak pada bulan April 1983. Besar dengan satu lantai dasar dan 3 lantai di atasnya, bercat merah orange.

Pertunjukan Symphonic Concert malam ini dipimpin oleh Hisham Gabr. Ia adalah seorang konduktor dan komposer berkebangsaan Mesir yang tercatat sukses di dalam dan luar negeri. Semua perhatian dan mata terhujam ke depan ketika semua pemain musik, mengambil duduk di tempatnya masing-masing. Tepuk tangan menggemuruh menyambut masuknya sang konduktor. 


Symphonic Concert malam itu menghadirkan tiga judul utama. Hebrides Overture (Fingal's Cave), Op. 26 milik Felix Mandelssohn, Horn Concerto No.1 in Eb major, Op. 11 karya Richard Strauss dan Symphony No. 4 in E minor, Op. 98 gubahan Johannes Brahms. Ketiganya sama-sama berkebangsaan Jerman dan hidup pada Zaman Romantik (1815-1910).

Penamaan Symphonic Concert didasarkan pada konser yang memasukkan unsur symphony dan alat musik lain berjenis serupa. Berbeda dari Symphonic Orchestra yang memainkan sejumlah symphony sekaligus memiliki sederetan daftar musik "serius".

Hebrides Overture (Fingal's Cave), Op. 26 
Felix Mandelssohn: The Hebrides (Fingal's Cave)

Musik yang dimainkan sebagai overture, sepenggal musik orchestra yang dijadikan pembukaan dalam sebuah opera atau oratorio (tipe komposisi musik yang tersusun atas perluasan setting dari teks-teks keagamaan yang bermuatan unsur-unsur dramatik).

The Concert Overture The Hebrides (German: Die Hebriden) disusun Mendelssohn pada tahun 1830. Lagu ini terinspirasi oleh gua besar yang dikenal dengan Fingal's Cave di pulau Staffa yang terletak di kepulauan Hebrides, di pantai lepas barat Skotlandia. Seperti umumnya jenis musik Zaman Romantik, ini bukan musik pengantar dalam arti mendahului sebuah drama atau opera. Ia adalah concert overture (pembukaan sebuah konser), pilihan musik yang berdiri sendiri dan dalam perkembangannya kini menjadi bagian dari repertoar orchestra standar. Musik ini didedikasikan untuk Raja Friedrich Wilhelm IV dari Prusia.

Dalam surat yang Mendelssohn kirim untuk adiknya, Fanny Mendelssohn, ia menuliskan keterkesannya pada The Hebrides, "Untuk membuatmu mengerti betapa luar biasanya The Hebrides mempengaruhi saya, akan aku jelaskan pada surat berikutnya, yang kini masih menancap kuat di kepalaku." Awalnya, Felix menamainya Die Einsame Insel (The Lonely Island).

Overture ini terdiri dari dua tema utama. Pertama adalah note pembuka yang menceritakan sebuah theme dimana Felix menulisnya ketika mengunjungi gua Fingal dan sebagai tandanya, dimainkan dengan viola, cello dan bassoon. Sedangkan theme kedua menggambarkan suasana pergerakan di laut dan deru gulung gelombang. Suasana di atas digambarkan lewat permainan 2 flute, 2 obo, 2 clarinet, 2 bassoon, 2 terompet dan alat musik senar gesek (keluarga biola). Durasi sekitar 10 menit.

Horn Concerto No.1 in Eb major, Op. 11
Horn Concerto No.1 in Eb major, Op. 11

Tidak ada composer, bahkan Brahms, yang lebih tahu dari Strauss tentang bagaimana memunculkan kekayaan tone Horn (terompet tradisional Eropa) Perancis. Ayahnya adalah seorang pemain terompet terkemuka, pemimpin seksi Horn di Munich Opera House. Dedikasi concert horn pertama anaknya ditulis dalam rentan waktu 1882-1883 di awal perjalanan karirnya. Ia lahir dengan keahlian "emas" memainkan horn. Karyanya ini menjadi representasi dari periode Romantik dan merupakan repertoar pokok dari horn modern.

Dimainkan dalam 3 movement, masing-masing dengan jenis tempo Allegro, Andante dan Allegro-Rondo, dimainkan tanpa memberikan jeda. Strauss memberikan kesatuan pada musik dengan menggunakan theme yang sama secara esensial baik di awal yang terdengar seperti keriuhan maupun perubahan irama sebagai theme pokok untuk tempo ketiga, Rondo. Ketika masuk Rondo, horn menjadi sering bermain dan keluarga biola bermain begitu lincah.

Total durasi sekitar 16 menit. Malam itu, Amr Aboul Naga tampil sebagai peniup horn.

Symphony No. 4 in E minor, Op. 98 
Brahms Symphony No. 4 in E Minor Op. 98

Merupakan symphony terakhir Brahms. Ia mulai mengerjakannya di Mürzzuschlag, selesai pada tahun 1885. Dimainkan dengan 2 flute, 2 obo, 2 clarinet, 2 basson dan beberapa alat tiup lain serta sejumlah alat musik senar gesek (keluarga biola).

Symphony ini tersusun ke dalam 4 movement dengan tanda tempo Allegro non troppo (E minor), Andante moderato (E minor/ E major), Allegro giocoso (C major) dan Allegro energico e passionate (E minor).

Movement pertama terdengar dramatis dan bergairah sedangkan movement kedua adalah movement gaya requiem (misa untuk orang meninggal dunia) dengan suara gaya Mesir yang dimainkan horn. Movement ketiga terdengar ceria (C major). Movement terakhir penting sebagai contoh langka dari symphonic passacaglia (jenis musik yang muncul di awal abad 17 di Spanyol), yang mirip dengan chaconne (tipe komposisi musik yang populer di Zaman Baroque) dengan sedikit perbedaan bahwa subjek bisa muncul dengan banyak suara lebih dari bass. Satu hal yang unik adalah meskipun movement keempat dimainkan dengan scale E minor, sebenarnya ia memiliki scale E major chord ketujuh yang pada akhirnya bisa didengar di awal, tengah dan akhir dengan penutup yang dramatis.Waktu sekitar 40 menit lewat tak terasa mendengarkan symphony Brahms ini.

Konser malam itu berlangsung hampir dua jam. Saya terpikat dengan segala permainan, jenis tempo, power string yang ditampilkan. Kadang terdengar lembut dan pelan, kadang terdengar kencang bak note-note balok yang diberondongkan ke telinga. Sehari setelahnya, di facebook saya menulis sebuah status, " Menyaksikan tigapuluhan keluarga alat musik dawai yang digesek (biola, viola, cello dan kontra bass), belasan alat musik tiup (terompet, horn, clarinet, flute, saxofon dll), bersama-sama memainkan Felix Mendelssohn, Richard Strauss dan Johannes Brahms. Menikmatinya sembari sesekali mata terpejam dan tiba-tiba masa lalu seperti ditumpahkan dari langit. Malam minggu yang sensasional \M/".

Akar, 27 April 2012.

Kamis, 22 Maret 2012

Terusan Suez: Dari Ambisi Hingga Perang

Dalam perjalanan ke kota Ismailiyah, rombongan kami menemukan sebuah objek sejarah yang penting. Kami menemukan rumah konseptor pembangunan Terusan Suez.


Foto ini diambil di depan rumah dan kantor Ferdinand de Lesseps, maestro pembangunan terusan Suez. Semenjak ekspansi Perancis ke Afrika Utara, Kaisar Napoleon Bonaparte berniat membangun kanal untuk kapal-kapal yang akan berlayar ke laut lepas. Naiknya Said Pasha, anak Muhammad Ali Pasha pada tahun 1854, menjadi penguasa di Mesir, impian kanal menemukan nasib baiknya. Mereka berdua adalah sahabat karib di Perancis. Said Pasha menunjuknya mengepalai proyek terusan ini. Dan de Lesseps membuktikan dirinya berhasil.

Rumah de Lesseps, terhitung besar dan terawat. Bentuk bangunannya mengingatkan kami pada bentuk rumah-rumah peristirahatan Belanda di Indonesia. Jendela rumah berukurang panjang dan lebar, taman-taman di sekelilingnya, atap rumah bergenting menunjukkan kepada kami seperti sedang tidak berada di Mesir tatkala memandangnya. Sekitar 500 meter, kita bisa langsung melihat Terusan Suez, mendengar deru ombak dan memandangi kapal-kapal lewat dari Asia-Eropa.

Tidak jauh dari rumah de Lesseps, ada sebuah Distrik Nakhil. Rumah-rumah di sana dibangun juga dengan konsep Eropa. Dulu, kawasan ini adalah tempat pegawai Eropa yang bekerja di perusahaan Terusan Suez. Perusahaan ini sahamnya dulu dikuasai Perancis dan Inggris sebelum dinasionalisasi.

Diceritakan, Khediv Ismail, keponakan Said Pasha yang memerintah Mesir setelahnya pada 1867 telah menyebarkan undangan ke Eropa yang jumlahnya sekitar 6 ribu orang. 500 juru masak didatangkan dari Genova dan Marseille. Tamu-tamu akan menghadiri undangan itu, namun pembangunan kanal belum selesai. De Lesseps berlomba dengan waktu. Apalagi di terusan yang akan dilayari kapal-kapal dari Eropa, ada gundukan tinggi yang menghalangi kapal melintas.

"Ledakkan saja!" perintah de Lesseps.

"Itu mustahil." jawab para insinyur.

"Kita coba saja!" kata de Lesseps, "Kita tidak punya pilihan lain." Tidak tercantum sebelumnya anggaran untuk melaksanakan perintahnya.

Akhirnya, perintah itu dilaksanakan dan berhasil. Ganjalan itu hancur, air meluap muntah ke daratan padang pasir. Terusan Suez dibuka pada 19 November 1869 (versi lain mengatakan pembukaan dilakukan pada tanggal 16 atau 17 November). Ada yang bilang, orang-orang Mesir diperintahkan untuk berbaris di sepanjang tepian Terusan Suez guna menyambut rombongan tamu-tamu dari Eropa. Rau Eugenie, istri Napoleon III bahkan mengatakan, ia tidak pernah melihat pesta semegah ini dalam hidupnya. Terusan Suez memanjang sekitar 193 kilometer, melewati tiga kota utama; Port Said (Laut Tengah), Ismailiyah dan Suez (Laut Merah).

Sebelum Terusan Suez dibangun, transportasi dilakukan dengan mengangkut barang-barang antar pelabuhan Port Said dan Suez dengan transportasi darat.

Ketika masuk ke Ismailiyah lewat dalam (bukan lewat jembatan), akan kita dapati patung monument untuk mengenang rakyat Mesir yang menggali Terusan Suez. Monument itu menggambarkan seorang petani yang tegap memegang cangkul.

Konon, setelah penjelajah Vasco Da Gama menemukan Tanjung Harapan di Afrika Selatan, kapal-kapal yang datang tidak lagi kembali ke Mesir, tapi memilih berlayar melintasi sepanjang pinggiran Afrika. Setelah Kerajaan Inggris Raya berhasil menjadikan India sebagai salah satu negara jajahannya, jalur pelayaran Tanjung Harapan dimonopoli oleh Inggris. Hal ini membuat panas Perancis.

Perancis perlu melakukan sesuatu untuk mengembalikan kejayaan dan kehebatannya. Akhirnya disiasatilah untuk membangun Terusan Suez. Namun semua usaha untuk mewujudkannya berujung gagal, disebabkan waktu itu, ada keyakinan yang pada akhirnya terbukti salah bahwa permukaan air Laut Merah lebih tinggi ketimbang permukaan air Laut Tengah.

Napoleon pernah memberikan tugas kepada salah satu insinyurnya untuk mempelajari kemungkinan membuat Terusan di tanah Mesir. Hasil penelitian yang dilakukan oleh tim risetnya terbukti salah. Waktu itu, dikatakan tidak memungkinkan melaksanakan misi itu karena ketinggian permukaan air Laut Merah dan Laut Tengah tidak sama.

Baru ketika Mesir dipegang oleh Muhammad Said Pasha, perencanaan pembangunan ini menemukan titik nyata. Proyek pembangunan ini membuat Inggris ketakutkan karena kepentingannya di kawasan pelayaran Afrika terancam. Terusan ini dibangun selama 10 tahun (1859-1869)

Presiden Gamal Abdul Naser pada 26 Juli 1956 memutuskan untuk menasionalisasi Terusan Suez. Keputusan ini menyulut serangan dari Amerika, Perancis dan Inggris terhadap wilayah Mesir. Dalam perang Enam Hari pada pada 1967, Israel berhasil menguasai Terusan Suez. Dan dalam perang Yom Kippur pada tahun 1973, tentara Mesir berhasil merebut kembali Suez. Dalam sejarahnya, perang ini menjadi simbol keberhasilan Terusan Suez berhasil sepenuhnya kembali ke tangan Mesir. Pada tahun 1975, Terusan Suez akhirnya dibuka untuk umum setelah ditutup sementara pada masa perang.

Terusan Suez di Kota Ismailiyah

Senin, 19 Maret 2012

Alun-alun dan Kedai Kopi

#1
Pagi bersinar. Langit beraut cerah. Musim semi menghembuskan dan menyebarkan udara segar. Alun-alun kembali membuka mata dengan sisa-sisa yang masih sama. Toko-toko menggulung pintu. Susu dan roti fathirah laris dijajakan. Kedai-kedai kopi menyambut siapa saja, baik para pekerja maupun pengangguran.

Aku duduk, di hadapanku ada secangkir teh hijau. Sesekali aku mengamati sekitar, kali lain membuka memori. Aku menikmati kesehatan, harapan dan cita-cita, serta mimpi-mimpi anak muda.

Akal pikiran tak luput keruh akibat polusi yang mengotori udara jernih. Ada pria bermata sayu, setelah menangis dan tidak bisa tidur semalaman, bertanya soal kantor kesehatan. Ada wanita lansia mencari-cari jalan pintas dijebloskan ke penjara Mesir, karena terpuruk dalam masalah demi masalah setiap hari. Pada saat yang sama, suara Umi Kultsum mengalun merdu dari radio, melipur pagi mereka yang mendengarkannya. Aku menyeruput teh, bergembira, ngobrol tenang sampai semua kekeruhan ini sirna lalu keindahan menampakkan diri tanpa mau tergerus perubahan zaman.

#2
Hari beranjak siang. Makanan Kabab tiba. Pelayan berlalu sambil mengangkat teko dan gelas. Hidangan ini sebagai menu makan siang.

Temanku membuka percakapan, "Kemacetan hari ini mencengangkan."

"Alun-alun selalu disemuti orang-orang." Kataku tanpa peduli.

"Tetapi hari ini, sudah di luar batas kewajaran."

Seorang pelayan ikut nimbrung ke dalam obrolan kami, bersemangat dengan gaya lama, "Semua orang kini berubah. Mereka sudah tidak seperti yang dulu lagi…"

"Mahasuci Dzat yang memiliki keabadian." sahut kawanku.

Pelayan itu meneruskan bicaranya, "Kamu tanyakan pada salah satu dari mereka, apa yang membuatnya berubah. Ia akan mengingkarinya dan mengira, yang berubah adalah orang lain. Beginilah kenyataannya, dunia seisinya sudah berubah."

Kami berdua mulai menyantap makanan, dan aku masih memikirkan perbincangan yang baru saja kudengar. Aku melempar komentar dengan nada menenangkan, "Begitulah manusia di manapun dan kapanpun."

#3
Selang waktu dari Dzuhur sampai Ashar, kami tidak meneruskan obrolan. Kami memandangi apa yang tengah terjadi dengan mata linglung.

Sahabatku bertanya-tanya, "Apakah kemacetan ini terjadi setiap hari?"

"Sama sekali tidak." Aku menyahut mengakui, "Bahkan di hari-hari perayaan sekalipun."
Kemacetan melebat dalam bentuk yang mengherankan. Tanah sudah tak terlihat lagi, diinjak telapak kaki manusia, laki-laki, perempuan, anak-anak. Toko-toko kekenyangan pelanggan. Kegaduhan melengking, berlomba sengit dengan suara radio. Setiap ada niat untuk memborong, seolah-olah mereka hendak menimbun atau membutuhkannya karena akan pergi jauh. Alun-alun bak arus tanpa ujung berwujud kerumunan orang yang berteriak keras saling bersautan. Segala sesuatu berlangsung begitu cepat dan gila-gilaan mempengaruhi kebutuhan. Pengemis jalanan tidak punya tempat, terpelanting di udara. Tempat lahirnya transaksi jual-beli dan kawah kesabaran yang sia-sia ini hibuk sonder letih. Temanku berkomat-kamit, "Wahai Dzat yang menampilkan kelembutan, lindungi kami dari segala yang menakutkan kami."

Kami berdua ngakak. Tawa kami seperti ketololan.

#4
Jeda waktu dari terbenamnya matahari hingga malam, orang-orang terburu-buru berpencar dan menghilang. Dalam kondisi kacau dan ruwet, syaraf-syaraf kerap menegang, api percekcokan, adu mulut dan adu jotos begitu gampang tersulut. Gelombang manusia menyurut, keriuhan kerumunan orang mereda, suara teriakan dan saut-sautan menyusut pelan-pelan. Alun-alun sepi senyap. Padahal biasanya, baru beranjak sepi di sepenggal ujung malam.

Aku berpikir untuk bertanya saja pada polisi lalu lintas, namun aku melihat emosinya mendidih, wajahnya cemberut, maka aku memilih langkah aman saja.

Tiba-tiba, toko-toko mulai mengunci pintu dan rumah-rumah menutup jendelanya. Gelap menguasai, kesenyapan dan kelengangan tengah menyelimuti alun-alun. Para pelanggan kedai kopi saling melempar pandang penuh kebingungan.

"Apa yang terjadi pada dunia ini?"

"Ini loh koran. Tidak ada berita apa-apa di sini."

"Tetapi rasanya, sesuatu tengah terjadi. Aku yakin."

"Kita harus pergi. Apa yang membuat kita terus-terusan duduk di sini?"

"Kita menunggu siaran berita."

"Entah nanti terjadi sesuatu atau tidak, kita bakal berjumpa lagi."

"Di rumah? Siapa di rumah?"

Seorang lelaki berdiri dan berkata, "Hatiku yang bilang demikian padaku."

Belum tuntas menyelesaikan ucapannya, ia memberi isyarat dengan tangannya, namun isyaratnya kabur. Lalu ia berlalu begitu saja. Kepergiannya turut mendorong mereka yang bingung. Mereka menyelinap, menghilang satu persatu. Aku beranjak bersama karibku dan pada akhirnya, kebingungan masih tetap merajai kami berdua.

"Kepalaku serasa berputar." katanya padaku, "Demi Tuhan, ceritakan padaku apa yang terjadi."

Aku menjawab dalam keadaan habis kesabaran, "Semua yang terjadi, biarlah terjadi. Apa yang bisa kuceritakan padamu tentang sesuatu yang belum terjadi?"


*Diterjemahkan dari Antologi Cerpen "Al Fajr Al Kadzib" karya sastrawan Mesir, Naguib Mahfoudz. Cerita pendek kedua puluh dua, "Al Midan wa al Maqahi"