Teman yang ia tunggu datang. Setelah mempersilakan duduk dan tanpa menanyai kabar, ia berikan kertas kuning yang sudah ia remas-remas. Ia menyuruhnya membacanya. Sahabatnya penasaran. Lekas-lekas ia membukanya lalu yang mendapatkan pesan itu mendengar mulut temannya berkata, “Terbuat dari apakah ia yang bernama kehilangan?”
Lelaki itu hanya bisa menjawab, “Aku tidak tahu darimana ia
berasal. Aku hanya bisa merasakannya.”
“Apa yang kamu rasakan?”
“Saya teringat masa kecilku, yang direnggut Tuhan ketika ia merenggut kedua orang tuaku.
“Saya kehilangan cerita berorang tua dan sejak saat itu,
saya nyaris seorang bocah yang dipaksa berumur 23 tahun.”
“Semua yang baik datang dariNya. Semua yang buruk…”
Lelaki itu cepat menukas, “Juga datang dariNya.”
Temannya masih tenang meneruskan, “Semua yang buruk datang bukan
dariNya.”
“Tidak juga!”
“Kok?”
“Lihat kelaparan di Afrika! Lihat aku yang tumbuh tanpa
orang tua!”
Temannya menghela nafas panjang. Ia juga menyadari
kedlaifannya menerangkan asal usul kehilangan dengan detail. Ia hanya bisa
bilang, “Selama kamu menghadapi Tuhan dengan masa lalumu, selama itu pula Ia
menjumpaimu dengan segala takdir buruk.”
Namun lelaki itu tetap keukeuh. “Semua temanku yang berorang
tua mengujariku: tidak ada obat mujarab di dunia selain kampung halaman.
“Barangkali dari sana, kehilangan ini berasal. Karena aku
punya kampung halaman.”
“Bukankah kamu yang selalu bilang padaku, segala sesuatu
datang berantai. Lihatlah dirimu sendiri, kawan, buah dari masa lalumu sendiri!”
“Tuhan yang menjadikanku seonggok masa lalu yang tak
mati-mati.”
“Bukan. Ingatanmu sendiri yang menciptakanmu seorang masa
lalu. Jika kamu bisa melenyapkan ingatan dari dirimu, tentu kamu tidak akan
menyuruhku datang untuk ngobrol urusan sentimental semacam ini. Tapi kupikir,
itu tidak mungkin…”
“Ayo! Tunjukkan cara melenyapkan ingatan kepadaku!”
“Tidak mungkin bisa. Semua orang punya ingatan, kawan.”
“Dan terbukti kan, benih kehilangan ini lahir dari rahim ingatan.”
“Tapi itu bukan satu-satunya, kawan. Jangan sering-sering
melibatkan Tuhan dalam urusan keburukan. Jika memang benar apa yang kamu katakan,
kiamat sudah terjadi dari dulu.”
Kawannya memesan syahlab. Sejenak mereka berdua menikmati
minuman. Pelayan yang akrab dengan keduanya ingin sekali terlibat dalam
pembicaraan.
Kawannya berpikir sejenak kemudian berkata, “Tidak semua yang
pergi pasti hilang sebagaimana tidak semua yang ditunggu mesti datang. Biarkan semua
menghampiri kehidupan kita, baik dengan permisi maupun tidak. Kita tidak perlu
menyalahkan apa-apa. Musim dingin tidak pernah
menyalahkan musim gugur yang menggugurkan dedaunan dan bebungaan. Bukankah
karena itu, tidak ada yang dibawa musim dingin selain musim semi selepas ia
pergi?
“Kehilangan memiliki bayangan, kawan.
Nama bayangannya kerelaan.”
Lelaki itu menelan omongan temannya
dalam-dalam. Pelayan tua tadi datang ketika ia minum pahit sisa kopinya.
“Aku punya cerita.” selanya.
Kedua pemuda itu hormat kepadanya. Mereka meminta beliau
duduk menemani barang sejenak. Kebetulan café sedang sepi.
“Beberapa minggu di sini aku berjumpa seorang turis yang
mengaku tengah menulis novel. Dia berkepala tiga. Ketika aku menghidangkan minuman
pesanannya dan mempersilakannya, dia tiba-tiba bilang kehilangan ide meneruskan
tulisan. Gara-gara dialog yang diucapkan oleh tokoh rekaannya sendiri. Kata si
tokoh, ‘setiap orang merasa menderita kehilangan sesuatu atau seseorang yang
paling ia miliki dan paling ia ingini. Kira-kira bagaimana rasanya kehilangan
sesuatu atau seseorang yang sudah paling ia ingini dan akan paling ia miliki?’ Dia
berhenti menulis, memilih ke sini duduk berjam-jam memikirkan rasa kehilangan
yang demikian rupanya.”
Kedua pemuda itu larut menyimak.
“Obrolan kalian mengingatkanku padanya. Sebelum aku izin
permisi, aku dititipinya satu pertanyaan: terbuat dari apakah ia yang bernama kehilangan?
Kamu kehilangan masa lalu yang paling kamu ingini, lantas kamu simpulkan ia
datang dari ingatan. Tapi si tokoh itu! Dia belum punya ingatan tentang masa
depan. Ia hanya dihampiri kenyataan kehilangan apa yang paling ia ingini dan
akan paling ia miliki.”
Sebelum beranjak berdiri, pelayan tua itu mengeluarkan
sesobek kertas dari sakunya. “Ini nomor telepon dan alamat hotel dia menginap.”
Kedua pemuda saling tatap, tersenyum seperti sudah sepakat
dengan apa yang mereka berdua akan lakukan bersama.
Pelayan tua tersenyum melihat mereka berlalu. Ia kira-kira
tahu, apa yang akan mereka cari. Bila bertemu mereka lagi di sini, ia ingin
bertanya, “Betulkah kehilangan terbuat dari ingatan?”
Kairo, 24 November 2012