Pulanglah Nak
Apa yang tak engkau tahu, tak 'kan bisa melukaimu*
Bergerak engkau jangan beriak
Bagimu doa dan rindu dari biyungmu
Pulanglah Nak
Kamu yang terdidik jauh dari bapak
Lawanmu adalah tempurungmu
Usah dilindas cemas yang kamu tak tahu
Pulanglah Nak
Seperti mengecup tangan menua ini
Tahukah engkau melihatmu menapak
Tanyakan engkau punya bidadari
Pulanglah Nak
Datang darah daging kembali anak
Tiba waktumu belajar di buaian emak
Sebelum esok matahari engkau tembak
*Bait lagu Sarah Brightman.
~
~ Sengkarut ide, serakan asa dan serpihan momen::
Jumat, 01 November 2013
Jumat, 25 Oktober 2013
Mimpi-mimpi Aneh
Akhir-akhir ini selama seminggu lebih, saya kerap dimampiri
mimpi. Mimpi-mimpi yang aneh dan terkadang begitu membingungkan. Selain, tentu
saja, ada yang membahagiakan. Mimpi-mimpi tersebut menunjukkan saya sudah
berada di Indonesia. Dan baru di mimpi terakhir, semalam, saya masih di Mesir.
Pertama, sewaktu saya hendak berangkat mendirikan (saya tidak
sepakat dengan penggunaan kata “menunaikan” karena lebih berdimensi materi) shalat
Jum’at. Saya sudah memakai sarung, baju koko dan songkok hitam. Ketika tiba di
sekitar masjid, saya lihat orang-orang sudah banyak memadati masjid, serius
dengan ibadahnya masing-masing. Ada yang shalat sunnah tahiyatul masjid, ada
yang berdzikir. Ketika saya masuk masjid, keheranan mulai timbul. Saya tidak
melihat seorang kyai naik ke atas mimbar untuk menyampaikan khutbah Jum’at. Saya
malah melihat sebuah grup band rock ‘n roll asal Jerman sedang manggung di
dalam masjid. Di hari Jum’at! Di atas mimbar masjid! Scorpions bernyanyi di
tempat ibadah. Berteriak-teriak dan menyampaikan pesan. Saya hanya tertegun.
Kedua, mimpi tentang kedatanganan saya di rumah. Ada keluarga
dan tetangga. Semua, termasuk saya, masih kelihatan bahagia. Keadaan berubah
drastis setelah saya buka isi koperku. Berniat membagi-bagikan oleh-oleh
seadanya dari Kairo ke sanak keluarga. Kubuka isi koperku dan kami semua
keheranan. Karena sebagian besar isinya (yang berupa buah-buahan) sudah
membusuk. Orang-orang bertanya-tanya, tapi aku tidak bisa menjawab. Pikiranku dicabut
pertanyaanku sendiri mengapa bisa begini isi dalam koperku sendiri.
Pada saat yang sama, keluargaku bertanya mengapa oleh-olehku sedikit sementara muatan bagasi begitu banyak. Aku hanya jawab, sebagian lagi masih di Indonesia dan akan bisa dibawa lagi kemari karena sisa muatan bagasi yang tersedia buatku masih ada. Kata mereka, apa kamu akan kembali ke Kairo lagi untuk mengambilnya sementara tiketmu hanya sekali jalah? Dungunya aku, yang tak paham urusan penerbangan. (Mengapa tidak kubawa sekalian?)
Ketiga, ini yang membahagiakan dan menenangkan. Ketika aku
bermimpi berhadapan di depan kekasihku di sebuah kamar yang sepertinya milik
kami berdua. Kami berpandangan, saling memeluk dan seterusnya… Dulu aku pernah bermimpi mencari-carinya di tengah-tengah
kerumunan sementara dia sedang menangis. Keterjagaanku yang tiba-tiba, membuatku
tidak berhasil menemukannya.
Keempat, ini yang terjadi tadi malam. Saat aku berangkat ke
Ismailiyah, aku menjemput terlebih dahulu rekanku sesama pengajar. Dia yang
biasa terlihat necis, mengenakan baju yang sudah berlubang di beberapa bagian. Sampai
ke tempat tujuan, aku tidak mendapati satu siswa pun. Aku sadar ternyata aku
terlambat berangkat. Bagaimana bisa, kursus yang harus dimulai pukul setengah
tiga siang sedangkan aku berangkat dari Kairo pukul dua siang? Asal tahu saja,
perjalanan Kairo-Ismailiyah rata-rata memakan waktu 2 jam. Dalam perjalanan
pulang, aku menjumpai seorang muridku dan mengeluh, “Guru, kalau memang tidak
ada kursus, mengapa tidak mengabari kami terlebih dahulu sehingga kami tidak
kecewa seperti ini?” Rumahnya ternyata ada di tengah padang pasir, perbatasan
provinsi Ismailiyah dan Kairo (realitanya, tidak ada pemukiman di tengah-tengah
gurun).
Apapun isi mimpi yang menghampiriku, aku mungkin harus
berhati-hati, melawan apa yang tidak aku ketahui. Jadikan itu refleksi, kata
kekasihku. Keniscayaannya, aku berencana pulang bulan duabelas. Dan orang tuaku
meminta, kalau bisa, segeralah pulang cepat. Ya Allah, mohon pertolongan!
Jumat, 11 Oktober 2013
Mengetahui Rahasia Itu Menyakitkan
Kalian tentu pernah kan mendengarkan teman, orang tua, saudara,
tetangga kalian menceritakan urusan rahasia mereka kepada kalian? Semuanya
kupikir pernah mengalaminya. Kita mencoba memposisikan diri sebagai—minimal—menjadi
pendengar yang baik. Atau mungkin justru kita melihat dan menyaksikannya langsung.
Sebelum bisa menilai dalam pikiran dan ucapan, saya teringat langsung ucapan
dari seorang teman: mengetahui rahasia itu menyakitkan. Dan ia benar.
Setelah itu reaksi kita bisa beragam. Kita bisa marah, kita
bisa saja takut, kita bisa diam, kita bisa simpati dan mencoba peduli, kita
merasa tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan kadang merasa tak perlu berbuat
apa-apa.
Tentang apa itu sebenarnya yang bernama rahasia, saya tak
ingin mengartikannya di sini. Barangkali satu urusan bisa menjadi
sebuah-rahasia bagi satu orang dan mungkin sekali juga bukan-sebuah-rahasia
bagi yang lain. Hanya saja, barangkali saya bisa mengajak Anda bersepakat bahwa
sebuah kenyataan atau kebenaran menjadi rahasia—sejenis urusan privasi dalam
kesadaran keakuan kita—jika kita tidak tak menghendakinya diketahui oleh publik.
Sebelum bisa berpikir apa-apa, saya sendiri sakit apabila
melihat status seseorang di Facebook tentang kekurangan-kekurangan pasangannya
(saya tidak membahas etika di sini). Kenyataan yang mestinya cukup menjadi
urusan mereka berdua (suami istri) dan aib apabila dibeberkan kepada siapa
saja. Begitu juga, ketika saya tahu bagaimana beberapa kawan benar-benar
banting tulang dan kadang tersandung-sandung (laki-laki atau perempuan)
berjuang secara ekonomi untuk bisa hidup dan belajar di sini. Dan juga ketika
saya—begitu juga kalian—pernah mendengar langsung luapan sakit hati kawan kita
soal hubungan cinta mereka.
Mari saya ajak menguji kepekaan kita sebagai rakyat
Indonesia. Mari melihat lagi berita terakhir soal tertangkapnya Ketua Mahkamah
Konstitusi Indonesia, Akil Muchtar karena dugaan suap. Sebelum kita mencaci,
acuh tak acuh, prihatin dan heran atas perilaku pejabat hokum yang mencederai hukum,
dalam kepekaan naluri perasaan kita sebagai rakyat, kita sudah sakit dahulu
mengetahui kenyataan yang berbaris diberitakan di koran-koran: mengetahui
begitu dekatnya pejabat dengan tindak korupsi atau suap alias membaca sendiri
kelakukan sebenarnya dari yang bersangkutan. Sampai-sampai kenyataan demi
kenyataan menambah amunisi pemahaman kita bahwa hal demikian sudah bukan
rahasia. Sudah kebal mungkin rasa sakit kita mendapati kalau pejabat demi
pejabat sebenarnya hanya “jujur bawa dusta”. Namun, justru karena sudah menjadi
rahasia umum, para pejabat makin hati-hati memperjuangkan kerahasiaan perilaku
mereka.
Begitu juga yang diakui oleh Tsarwat Kharbawy, mantan
petinggi jamaah Islam terbesar di Mesir, Ikhwanul Muslimin. Dia memutuskan
keluarkan dari jamaah pada tahun 2002 setelah mengetahui kenyataan yang
sebenarnya tentang Ikhwanul Muslimin. Dia mengakui ketidakmampuannya untuk
mempercayai apa yang dia lihat tapi dia harus melakukan apa yang harus dia
lakukan. Dia menerbitkan dua buku yang mengupas habis tentang rahasia
sebenarnya IM (Qalbul Ikhwan, terbit pada 2010 dan Sirrul Ma’bad terbit pada
2012). Kepada pembaca, dia hanya bilang jika membaca dan langsung percaya atau
langsung menolak, lebih baik tak perlu membacanya. Bacalah dan telitilah
sendiri kebenaran dari apa yang saya tuliskan, pesannya. Dia mengutip Orhan
Pamuk, “Aku menulis karena aku tak mampu memikul rahasia ini seorang diri. Dan aku
ingin melawannya.”
Bagaimana kita menghadapi rahasia? Pada akhirnya saya
menyadari, bahwa hal ini adalah urusan kita dengan diri kita sendiri. Urusan
cara kita berdamai dengan diri kita sendiri. Karena satu hal: kita tidak
ditakdirkan untuk tidak pernah punya rahasia. Terlepas dari semua ini,
sebenarnya kita bergulat pada diri kita sendiri tentang cara mengelola mana
yang rahasia dan mana yang bukan rahasia kepada keluarga, orang terdekat, teman
dan orang yang kita cintai sendiri. Bagi saya, misalnya harus wajar bila sudah
tidak ada rahasia lagi seseorang dengan pasangannya (yang sah). Perjalanan hidup
kita sampai mati pun akan terus berjuang menempatkan mana yang pribadi dan mana
yang bukan pribadi sesuai dengan tempatnya masing-masing. Ada 3 hal yang
membuat kita berpikir dan bekerja keras agar bisa adil menjalani hidup untuk
diri kita sendiri dan orang lain. Satu di antaranya adalah urusan
privat-publik. Oleh sebab itu, urusan ini selalu bisa berlaku dalam segmen
hidup berteman, berkeluarga, berpolitik, bekerja dll.
Cukuplah bagi saya untuk tidak membubuhkan pesan apapun di
penutup. Setelah merasakan kesakitan ini, semua dari kita selama ini, saya
kira, sudah punya cara sendiri (atau kebiasaan) untuk menghadapinya. Tentang bagaimana
kita berdamai, melawan dan menuntaskannya.
Jumat, 04 Oktober 2013
Mesir dalam Mikro Mataku
Berita politik Mesir sudah jarang saya ikuti. Membacanya lewat twitter—saya mengfolloow puluhan situs berita dan puluhan aktivis politik, blogger dan pengamat politik—hampir tidak memberiku jeda untuk bernafas.
Akhirnya, kucukupkan dengan membaca tulisan panjang yang keluar mingguan dan merasakan dampak dari dinamika politik dalam negeri Mesir secara mikro: hidup di tanah Mesir sendiri. Ini yang barangkali luput oleh yang melihat berita Mesir dari luar—fokus pada hal-hal besar semata.
Sejak bulan Ramadhan lalu, saya memiliki 3 teman Mesir yang meminta saya memberikan privat les bahasa Indonesia. Ketiganya adalah mantan mahasiswa jurusan pariwisata dan perhotelan. Sebelum revolusi, mereka bekerja sebagai pemandu wisata. Satu dari mereka, Emad, sudah menikah dan beruntung masih kerja sebagai pemandu. Dua yang lain, Basam dan Yousef praktis menganggur tak berpenghasilan. Keduanya sudah berumur tapi belum menikah.
Saat memberikan les di rumah Yousef di kawasan Masarrah, Kairo, saya ditunjukkan foto kenang-kenangan dia bersama tamu wisatawan yang dipandunya. Aku melihat turis-turis bermuka Indonesia. Aku yakin itu, karena jelas-jelas banner yang jadi latar depan foto bersama adalah nama perusahaan dengan kosa kata Indonesia. Sayangnya, saya lupa nama perusahaan itu. Yousef menjelaskan, destinasi mereka adalah pendakian ke gunung Sinai, Piramida di Giza dan gereja gantung di jalan Mari Girgis, Kairo lama.
Kemudian dari penjelasan Basam, saya baru tahu, jenis pariwisata di Mesir ada dua. Pertama, pariwisata adventure dan pariwisata budaya. Para pemandu wisata bergerak di bidang pariwisata budaya. Mereka mengenalkan peninggalan sejarah Mesir dari masa Firaun sampai dinasti Islam. Basam sempat menawariku, karena aku orang Islam, jika ingin melihat langsung situs-situs bersejarah peninggalan dinasti Islam dari masa Fathimiyah sampai Turki Utsmani, dia siap menemaniku berkeliling Kairo. Dia tahu semuanya, karena itu yang dipelajarinya selama belajar di Fakultas Perhotelan dan Pariwisata Universitas Kanal Suez di Ismailiyah.
Praktis setelah revolusi 25 Januari, mereka menganggur. Tempat wisata lesu karena sepi pengunjung. Pendapatan terbesar kedua negara setelah Terusan Suez menurun drastis karena situasi keamanan yang tidak stabil. Ditambah pemberlakukan beberapa negara Eropa yang melarang penerbangan ke Mesir—yang sepertinya satu demi satu mulai dicabut.
Terakhir kali memberi les, Basam, Yousef dan Emad menunjukkan selebaran petisi pengumpulan tanda tangan pekerja pariwisata untuk menurunkan kepala asosiasi pekerja pariwisata. Isi selebarannya adalah menarik kepercayaan dan tuntutan pemecatan karena dari rentan pasca revolusi sampai sekarang, perbaikan pengadaan lapangan pekerjaan buat mereka dan pekerja seprofesi dengan mereka tak kunjung dirasakan.
Mengenai keamanan, bagi saya Mesir juga masih dapat dikatakan belum stabil. Sejak pembubaran demonstran di Rabea el Adawea, 14 Agustus, 17 Mesir dari 27 provinsi di Mesir diberlakukan jam malam dan undang-undang darurat di Kairo. Termasuk di Ismailiyah, tempat saya mengajar bahasa Indonesia untuk pelajar Universitas Kanal Suez di Pusat Studi Indonesia dua hari dalam seminggu.
Pemeriksaan tidak ketat ketika berangkat karena siang hari. Tapi dalam perjalanan pulang pada pukul 5 sore (itu artinya sudah Maghrib karena sedang menganjak musim dingin), sekarang ini pemeriksaan bisa lebih dari dua kali—waktu mau masuk dan mau keluar Ismailiyah. Saking brengsek dan lucunya, pernah mobil kami dihentikan polisi karena alas an tidak membawa surat perwakilan dari empunya mobil yang kami sewa. Pertanyaan demi pertanyaan sengaja diarahkan ke kami dan ujung-ujungnya pak polisi minta bakhsis, alias tips. Aku ambil 20 Pound, baru mobil kami diizinkan jalan.
Sebenarnya, pemberlakukan kedaruratan seperti sekarang ini—dimana pada hari Jum’at, jam malam mulai diberlakukan mulai pukul 7 malam—sudah biasa dirasakan rakyat Mesir sejak lama. Semenjak mendiang Presiden Anwar Sadat dibunuh dalam perayaan parade militer di Nasr City, penggantinya Husni Mubarak langsung memberlakukan UU Darurat. Aturan ini praktis berlaku selama 30 tahun. Dalam rentan waktu selama itu, polisi dan militer punya hak tak terbatas untuk menangkap dan menginterogasi rakyatnya sendiri yang dicurigai. Saat ini, memang jam malam masih berjalan, jalanan juga sudah sepi, namun kafe-kafe dan toko-toko masih banyak yang buka dan ramai pengunjung.
Sekarang, Mesir sedang mencari identitas demokrasi untuk dirinya sendiri. Betapa gilanya kini pergulatan politik di atas dan pergerakan arus masyarakat di bawah. Partai politik sering bersebarangan karena semangat ideologi yang tinggi sementara arus bawah bergerak menuntut segera cepat tanpa kesabaran—seperti apa yang dilakukan muridku sendiri.
Ada benarnya ucapan dari seorang kawan. Bagi warga asing (termasuk pelajar) yang menetap lama, Mesir jauh lebih baik di tangan militer layaknya sebelum revolusi, karena politik terkendali, keamanan stabil, ekonomi serba murah—tidak seperti rakyat Mesir yang kerap was-was. Dan sekarang, di masa peralihan, dampak politik dan ekonomi menjadikan warga asing sudah merasakan apa yang dirasakan oleh rakyat Mesir sendiri.
Akhirnya, kucukupkan dengan membaca tulisan panjang yang keluar mingguan dan merasakan dampak dari dinamika politik dalam negeri Mesir secara mikro: hidup di tanah Mesir sendiri. Ini yang barangkali luput oleh yang melihat berita Mesir dari luar—fokus pada hal-hal besar semata.
Sejak bulan Ramadhan lalu, saya memiliki 3 teman Mesir yang meminta saya memberikan privat les bahasa Indonesia. Ketiganya adalah mantan mahasiswa jurusan pariwisata dan perhotelan. Sebelum revolusi, mereka bekerja sebagai pemandu wisata. Satu dari mereka, Emad, sudah menikah dan beruntung masih kerja sebagai pemandu. Dua yang lain, Basam dan Yousef praktis menganggur tak berpenghasilan. Keduanya sudah berumur tapi belum menikah.
Saat memberikan les di rumah Yousef di kawasan Masarrah, Kairo, saya ditunjukkan foto kenang-kenangan dia bersama tamu wisatawan yang dipandunya. Aku melihat turis-turis bermuka Indonesia. Aku yakin itu, karena jelas-jelas banner yang jadi latar depan foto bersama adalah nama perusahaan dengan kosa kata Indonesia. Sayangnya, saya lupa nama perusahaan itu. Yousef menjelaskan, destinasi mereka adalah pendakian ke gunung Sinai, Piramida di Giza dan gereja gantung di jalan Mari Girgis, Kairo lama.
Kemudian dari penjelasan Basam, saya baru tahu, jenis pariwisata di Mesir ada dua. Pertama, pariwisata adventure dan pariwisata budaya. Para pemandu wisata bergerak di bidang pariwisata budaya. Mereka mengenalkan peninggalan sejarah Mesir dari masa Firaun sampai dinasti Islam. Basam sempat menawariku, karena aku orang Islam, jika ingin melihat langsung situs-situs bersejarah peninggalan dinasti Islam dari masa Fathimiyah sampai Turki Utsmani, dia siap menemaniku berkeliling Kairo. Dia tahu semuanya, karena itu yang dipelajarinya selama belajar di Fakultas Perhotelan dan Pariwisata Universitas Kanal Suez di Ismailiyah.
Praktis setelah revolusi 25 Januari, mereka menganggur. Tempat wisata lesu karena sepi pengunjung. Pendapatan terbesar kedua negara setelah Terusan Suez menurun drastis karena situasi keamanan yang tidak stabil. Ditambah pemberlakukan beberapa negara Eropa yang melarang penerbangan ke Mesir—yang sepertinya satu demi satu mulai dicabut.
Terakhir kali memberi les, Basam, Yousef dan Emad menunjukkan selebaran petisi pengumpulan tanda tangan pekerja pariwisata untuk menurunkan kepala asosiasi pekerja pariwisata. Isi selebarannya adalah menarik kepercayaan dan tuntutan pemecatan karena dari rentan pasca revolusi sampai sekarang, perbaikan pengadaan lapangan pekerjaan buat mereka dan pekerja seprofesi dengan mereka tak kunjung dirasakan.
Mengenai keamanan, bagi saya Mesir juga masih dapat dikatakan belum stabil. Sejak pembubaran demonstran di Rabea el Adawea, 14 Agustus, 17 Mesir dari 27 provinsi di Mesir diberlakukan jam malam dan undang-undang darurat di Kairo. Termasuk di Ismailiyah, tempat saya mengajar bahasa Indonesia untuk pelajar Universitas Kanal Suez di Pusat Studi Indonesia dua hari dalam seminggu.
Pemeriksaan tidak ketat ketika berangkat karena siang hari. Tapi dalam perjalanan pulang pada pukul 5 sore (itu artinya sudah Maghrib karena sedang menganjak musim dingin), sekarang ini pemeriksaan bisa lebih dari dua kali—waktu mau masuk dan mau keluar Ismailiyah. Saking brengsek dan lucunya, pernah mobil kami dihentikan polisi karena alas an tidak membawa surat perwakilan dari empunya mobil yang kami sewa. Pertanyaan demi pertanyaan sengaja diarahkan ke kami dan ujung-ujungnya pak polisi minta bakhsis, alias tips. Aku ambil 20 Pound, baru mobil kami diizinkan jalan.
Sebenarnya, pemberlakukan kedaruratan seperti sekarang ini—dimana pada hari Jum’at, jam malam mulai diberlakukan mulai pukul 7 malam—sudah biasa dirasakan rakyat Mesir sejak lama. Semenjak mendiang Presiden Anwar Sadat dibunuh dalam perayaan parade militer di Nasr City, penggantinya Husni Mubarak langsung memberlakukan UU Darurat. Aturan ini praktis berlaku selama 30 tahun. Dalam rentan waktu selama itu, polisi dan militer punya hak tak terbatas untuk menangkap dan menginterogasi rakyatnya sendiri yang dicurigai. Saat ini, memang jam malam masih berjalan, jalanan juga sudah sepi, namun kafe-kafe dan toko-toko masih banyak yang buka dan ramai pengunjung.
Sekarang, Mesir sedang mencari identitas demokrasi untuk dirinya sendiri. Betapa gilanya kini pergulatan politik di atas dan pergerakan arus masyarakat di bawah. Partai politik sering bersebarangan karena semangat ideologi yang tinggi sementara arus bawah bergerak menuntut segera cepat tanpa kesabaran—seperti apa yang dilakukan muridku sendiri.
Ada benarnya ucapan dari seorang kawan. Bagi warga asing (termasuk pelajar) yang menetap lama, Mesir jauh lebih baik di tangan militer layaknya sebelum revolusi, karena politik terkendali, keamanan stabil, ekonomi serba murah—tidak seperti rakyat Mesir yang kerap was-was. Dan sekarang, di masa peralihan, dampak politik dan ekonomi menjadikan warga asing sudah merasakan apa yang dirasakan oleh rakyat Mesir sendiri.
Jumat, 27 September 2013
Mimpi
Orang sering bilang, hidup butuh mimpi. Orang hidup perlu menciptakan mitos hidup yang akan dia wujudkan sendiri kebenarannya. Orang sering juga bilang, kalau mau maju, kamu niscaya punya mimpi, cita-cita dan arah. Setidaknya, kamu bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam apa yang akan lakukan, apa yang ingin kau capai selama hidupmu dan kemana hendak kakimu melangkah mengarungi hidup.
Saking pentingnya merawat mimpi, barangkali suatu saat nanti kita akan menginjak satu masa saat mimpi bisa bernasib seperti bahan pangan di masa paceklik. Hidup krisis mimpi. Masa ketika orang-orang tidak mengenal keberadaannya sendiri, fungsi tugasnya dan tidak mengerti alasan dari sebuah kebahagiaan.
Semua menjadi subjek minus satu. Seorang pejabat pemerintah tidak bisa hidup sebagai pelayan masyarakat, seorang guru tidak bisa hidup sebagai pembuka jalan dan penyuluh bagi anak didiknya, seorang ulama tidak bisa hidup sebagai penerus para nabi, seorang pengkritik tidak bisa hidup dengan terjun langsung menjadi bagian pemecahan masalah, sebuah generasi tidak bisa hidup dengan tanggung jawab mengajarkan cara bermimpi kepada generasi selanjutnya. Seorang yang tidak memiliki apa-apa pada akhirnya tidak dapat memberi apa-apa.
Tapi apakah mimpi itu sendiri?
Saya sendiri belum pernah diberi pelajaran tentang mimpi dan bagaimana bermimpi. Saya hanya diajarkan, jadilah orang dengan sebaik-baiknya dimana kamu bisa memberi manfaat bagi siapa saja. Jadilah orang yang mendasarkan hidupnya dengan niat baik dan berbaik sangka bahkan kepada Tuhan sekalipun. Jadilah untuk tidak harus jadi apa tapi bisa untuk memberi dengan senantiasa berniat baik. Namun zaman sekarang, bisakah orang hidup dengan sekedar bermodal niat baik? Tanpa mimpi?
…
Orang sering bilang, hidup butuh mimpi. Karena mimpi menyelamatkan keberartian hidup. Lantas apa yang tidak bisa diselamatkan oleh mimpi? Barangkali jawabannya adalah jika ada orang yang belum dapat bermimpi, hidupnya masih terselamatkan dengan niat baik yang dia miliki.
Saking pentingnya merawat mimpi, barangkali suatu saat nanti kita akan menginjak satu masa saat mimpi bisa bernasib seperti bahan pangan di masa paceklik. Hidup krisis mimpi. Masa ketika orang-orang tidak mengenal keberadaannya sendiri, fungsi tugasnya dan tidak mengerti alasan dari sebuah kebahagiaan.
Semua menjadi subjek minus satu. Seorang pejabat pemerintah tidak bisa hidup sebagai pelayan masyarakat, seorang guru tidak bisa hidup sebagai pembuka jalan dan penyuluh bagi anak didiknya, seorang ulama tidak bisa hidup sebagai penerus para nabi, seorang pengkritik tidak bisa hidup dengan terjun langsung menjadi bagian pemecahan masalah, sebuah generasi tidak bisa hidup dengan tanggung jawab mengajarkan cara bermimpi kepada generasi selanjutnya. Seorang yang tidak memiliki apa-apa pada akhirnya tidak dapat memberi apa-apa.
Tapi apakah mimpi itu sendiri?
Saya sendiri belum pernah diberi pelajaran tentang mimpi dan bagaimana bermimpi. Saya hanya diajarkan, jadilah orang dengan sebaik-baiknya dimana kamu bisa memberi manfaat bagi siapa saja. Jadilah orang yang mendasarkan hidupnya dengan niat baik dan berbaik sangka bahkan kepada Tuhan sekalipun. Jadilah untuk tidak harus jadi apa tapi bisa untuk memberi dengan senantiasa berniat baik. Namun zaman sekarang, bisakah orang hidup dengan sekedar bermodal niat baik? Tanpa mimpi?
…
Orang sering bilang, hidup butuh mimpi. Karena mimpi menyelamatkan keberartian hidup. Lantas apa yang tidak bisa diselamatkan oleh mimpi? Barangkali jawabannya adalah jika ada orang yang belum dapat bermimpi, hidupnya masih terselamatkan dengan niat baik yang dia miliki.
Senin, 01 April 2013
Jadinya, Menengok!
Sudah lama tidak menengok blog ini.
Sebentar! Bukannya ini blog saya sendiri. Adakah aku sudah bukan seorang tuan rumah yang baik?
Entahlah. Tapi yang jelas begini: setiap hari saya mengetik dua atau tiga halaman hampir tiap hari. Saya menyalin informasi penting dan terkadang rahasia dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia. Yang tidak mengenakkan adalah “semakin banyak yang kita tahu, semakin banyak yang kita rindukan.” Ternyata menyakitkan sebuah “pengetahuan mengenai banyak hal”. Pada pengalaman saya, sudah cukup membuat saya muntah setiap pagi ketika mengetahui jumlah korban yang mati akibat bentrok demonstran di Kairo, keputusan hukuman mati 21 tersangka tindak pidana kerusuhan Port Said yang menewaskan 70 supporter sepakbola Ahly Kairo, serangan Israel membantai warga Palestina, mengendus sumber dana organisasi Islam besar di Mesir, cadangan devisa Mesir yang sebentar lagi mau habis dan lain lain…
Praktis, saya jadikan otak saya seperti mesin penyelep tepung dari beras. Saya tidak berfikir. Karenanya ketika selesai mengetik, saya tidak merasa sudah menulis. Dan saya sadar telah menghilangkan satu langkah penting dalam menghadirkan sebuah tulisan: berpikir.
Aku berpikir maka aku ada, kata Descartes.Aku mengingat, maka aku ada, kata Milan Kundera.Aku tertawa, karena aku ada, kata cerita Malaikat di Le Livre du rireet de L’oubliAku menulis, maka aku hidup, kata Naguib Mahfoudz.
Ini yang saya ingat, dalam kondisi minus nol, Naguib membebaskan dirinya dengan menulis. Ia meng-a-d-a-kan eksistensinya dengan tulisan. Lalu di bagian ini saya akui ingin mencontohnya: menulis catatan harian dengan niat akan tidak saya tunjukkan kepada siapapun. Kamu tahu mengapa? Karena saya masih seonggok masa lalu. Dan terjebak dalam keadaan begini terus-menerus, bagi saya adalah sebuah kesalahan fatal.
Kemudian kuputuskan: privat harus ditempatkan di ruang privat dan publik harus ditempatkan di ruang publik. Gampangnya seperti ini: kalau saya bertengkar dengan ayah saya, saya tidak bisa mengumbarnya di Facebook atau di blog ini. Kemarahan ayah saya terhadap saya adalah urusan publik bagi kami sekaligus urusan privat bagi kawan-kawan saya di sini.
Well, lanjut…
Saya sudah sangat menikmati hari-hari semenjak awal tahun kemarin. Bisa membeli buku waktu ada pameran buku internasional di Kairo, membacanya (tentu masih banyak yang belum terbaca), menikmati jalan-jalan, mengurusi pekerjaan, mengajar orang-orang (tepatnya gadis-gadis mahasiswi yang cantik) Mesir bahasa Indonesia di Ismailiyah, sesekali nonton musik klasik di opera, sudah jarang nonton film, berkumpul dengan kawan-kawan, dan lain-lain. Rutinitas? Iya memang. Yang kadang membosankan dan tak jarang mengasyikkan.
Oh iya, beberapa minggu ini, saya mengalami sejumlah hal:
Jalan-jalan ke Downtown, menemukan lagi toko-toko buku yang lama tak saya datangi. Sambil memborong belasan buku bulanan. Setidaknya sudah punya rencana, kemana buku itu akan dilarikan setelah dibawa pulang.
Serius searching "Islam and Music" di Google. Muncullah banyak tautan teratas yang menyebutkan bahwa Islam melarang musik. Mencengangkan. Agama yang saya peluk melarangnya? Walaupun saya bukan pemain biola yang baik, hal ini bagi saya adalah masalah besar.
Mulai belajar menyetrika baju setelah mencuci. Dan menemukan alamat toko buku murah yang pemiliknya saya kenal. Berkali-kali mencari kartu namanya di lemari baju dan nihil. Menyenangkan, kan? Seperti halnya kamu keluar dari kamar mandi restuan lalu kembali ke meja makan dan kamu dapati makanan pesananmu sudah terhidang.
Membaca lelucon menarik. Seorang beragama menyodorkan dua kue manisan kepada orang Eropa. Yang satu terbuka, yang satu tertutup plastik. Orang shalih itu bertanya, "Mana yang akan kamu pilih?" Orang Eropa itu menjawab, "Tentu saya memilih kue yang sudah terbuka." Saya tahu, maksud lelucon ini mau menggambarkan pilihan antara wanita yang menutup auratnya dengan yang tidak. Saya dibuat tertawa sekaligus ingat, bagaimana saat membaca buku Milan Kundera, saya sebenarnya harus ekstra bersabar.
Mendapati iklan les bahasa Turki murah di dekat tempat tinggal. Argh, jadi pengen les.
Ssst, sudah awal bulan. Sudah jadwalnya menghafal Al Qur’an. Mau lulus tahun ini kan?
Nb: saya sedang menengok, bukan menulis.
Sebentar! Bukannya ini blog saya sendiri. Adakah aku sudah bukan seorang tuan rumah yang baik?
Entahlah. Tapi yang jelas begini: setiap hari saya mengetik dua atau tiga halaman hampir tiap hari. Saya menyalin informasi penting dan terkadang rahasia dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia. Yang tidak mengenakkan adalah “semakin banyak yang kita tahu, semakin banyak yang kita rindukan.” Ternyata menyakitkan sebuah “pengetahuan mengenai banyak hal”. Pada pengalaman saya, sudah cukup membuat saya muntah setiap pagi ketika mengetahui jumlah korban yang mati akibat bentrok demonstran di Kairo, keputusan hukuman mati 21 tersangka tindak pidana kerusuhan Port Said yang menewaskan 70 supporter sepakbola Ahly Kairo, serangan Israel membantai warga Palestina, mengendus sumber dana organisasi Islam besar di Mesir, cadangan devisa Mesir yang sebentar lagi mau habis dan lain lain…
Praktis, saya jadikan otak saya seperti mesin penyelep tepung dari beras. Saya tidak berfikir. Karenanya ketika selesai mengetik, saya tidak merasa sudah menulis. Dan saya sadar telah menghilangkan satu langkah penting dalam menghadirkan sebuah tulisan: berpikir.
Aku berpikir maka aku ada, kata Descartes.Aku mengingat, maka aku ada, kata Milan Kundera.Aku tertawa, karena aku ada, kata cerita Malaikat di Le Livre du rireet de L’oubliAku menulis, maka aku hidup, kata Naguib Mahfoudz.
Ini yang saya ingat, dalam kondisi minus nol, Naguib membebaskan dirinya dengan menulis. Ia meng-a-d-a-kan eksistensinya dengan tulisan. Lalu di bagian ini saya akui ingin mencontohnya: menulis catatan harian dengan niat akan tidak saya tunjukkan kepada siapapun. Kamu tahu mengapa? Karena saya masih seonggok masa lalu. Dan terjebak dalam keadaan begini terus-menerus, bagi saya adalah sebuah kesalahan fatal.
Kemudian kuputuskan: privat harus ditempatkan di ruang privat dan publik harus ditempatkan di ruang publik. Gampangnya seperti ini: kalau saya bertengkar dengan ayah saya, saya tidak bisa mengumbarnya di Facebook atau di blog ini. Kemarahan ayah saya terhadap saya adalah urusan publik bagi kami sekaligus urusan privat bagi kawan-kawan saya di sini.
Well, lanjut…
Saya sudah sangat menikmati hari-hari semenjak awal tahun kemarin. Bisa membeli buku waktu ada pameran buku internasional di Kairo, membacanya (tentu masih banyak yang belum terbaca), menikmati jalan-jalan, mengurusi pekerjaan, mengajar orang-orang (tepatnya gadis-gadis mahasiswi yang cantik) Mesir bahasa Indonesia di Ismailiyah, sesekali nonton musik klasik di opera, sudah jarang nonton film, berkumpul dengan kawan-kawan, dan lain-lain. Rutinitas? Iya memang. Yang kadang membosankan dan tak jarang mengasyikkan.
Oh iya, beberapa minggu ini, saya mengalami sejumlah hal:
Jalan-jalan ke Downtown, menemukan lagi toko-toko buku yang lama tak saya datangi. Sambil memborong belasan buku bulanan. Setidaknya sudah punya rencana, kemana buku itu akan dilarikan setelah dibawa pulang.
Serius searching "Islam and Music" di Google. Muncullah banyak tautan teratas yang menyebutkan bahwa Islam melarang musik. Mencengangkan. Agama yang saya peluk melarangnya? Walaupun saya bukan pemain biola yang baik, hal ini bagi saya adalah masalah besar.
Mulai belajar menyetrika baju setelah mencuci. Dan menemukan alamat toko buku murah yang pemiliknya saya kenal. Berkali-kali mencari kartu namanya di lemari baju dan nihil. Menyenangkan, kan? Seperti halnya kamu keluar dari kamar mandi restuan lalu kembali ke meja makan dan kamu dapati makanan pesananmu sudah terhidang.
Membaca lelucon menarik. Seorang beragama menyodorkan dua kue manisan kepada orang Eropa. Yang satu terbuka, yang satu tertutup plastik. Orang shalih itu bertanya, "Mana yang akan kamu pilih?" Orang Eropa itu menjawab, "Tentu saya memilih kue yang sudah terbuka." Saya tahu, maksud lelucon ini mau menggambarkan pilihan antara wanita yang menutup auratnya dengan yang tidak. Saya dibuat tertawa sekaligus ingat, bagaimana saat membaca buku Milan Kundera, saya sebenarnya harus ekstra bersabar.
Mendapati iklan les bahasa Turki murah di dekat tempat tinggal. Argh, jadi pengen les.
Ssst, sudah awal bulan. Sudah jadwalnya menghafal Al Qur’an. Mau lulus tahun ini kan?
Nb: saya sedang menengok, bukan menulis.
Langganan:
Postingan (Atom)