~

~ Sengkarut ide, serakan asa dan serpihan momen::

Jumat, 25 Oktober 2013

Mimpi-mimpi Aneh

Akhir-akhir ini selama seminggu lebih, saya kerap dimampiri mimpi. Mimpi-mimpi yang aneh dan terkadang begitu membingungkan. Selain, tentu saja, ada yang membahagiakan. Mimpi-mimpi tersebut menunjukkan saya sudah berada di Indonesia. Dan baru di mimpi terakhir, semalam, saya masih di Mesir.

Pertama, sewaktu saya hendak berangkat mendirikan (saya tidak sepakat dengan penggunaan kata “menunaikan” karena lebih berdimensi materi) shalat Jum’at. Saya sudah memakai sarung, baju koko dan songkok hitam. Ketika tiba di sekitar masjid, saya lihat orang-orang sudah banyak memadati masjid, serius dengan ibadahnya masing-masing. Ada yang shalat sunnah tahiyatul masjid, ada yang berdzikir. Ketika saya masuk masjid, keheranan mulai timbul. Saya tidak melihat seorang kyai naik ke atas mimbar untuk menyampaikan khutbah Jum’at. Saya malah melihat sebuah grup band rock ‘n roll asal Jerman sedang manggung di dalam masjid. Di hari Jum’at! Di atas mimbar masjid! Scorpions bernyanyi di tempat ibadah. Berteriak-teriak dan menyampaikan pesan. Saya hanya tertegun.

Kedua, mimpi tentang kedatanganan saya di rumah. Ada keluarga dan tetangga. Semua, termasuk saya, masih kelihatan bahagia. Keadaan berubah drastis setelah saya buka isi koperku. Berniat membagi-bagikan oleh-oleh seadanya dari Kairo ke sanak keluarga. Kubuka isi koperku dan kami semua keheranan. Karena sebagian besar isinya (yang berupa buah-buahan) sudah membusuk. Orang-orang bertanya-tanya, tapi aku tidak bisa menjawab. Pikiranku dicabut pertanyaanku sendiri mengapa bisa begini isi dalam koperku sendiri.

Pada saat yang sama, keluargaku bertanya mengapa oleh-olehku sedikit sementara muatan bagasi begitu banyak. Aku hanya jawab, sebagian lagi masih di Indonesia dan akan bisa dibawa lagi kemari karena sisa muatan bagasi yang tersedia buatku masih ada. Kata mereka, apa kamu akan kembali ke Kairo lagi untuk mengambilnya sementara tiketmu hanya sekali jalah? Dungunya aku, yang tak paham urusan penerbangan. (Mengapa tidak kubawa sekalian?)

Ketiga, ini yang membahagiakan dan menenangkan. Ketika aku bermimpi berhadapan di depan kekasihku di sebuah kamar yang sepertinya milik kami berdua. Kami berpandangan, saling memeluk dan seterusnya…  Dulu aku pernah bermimpi mencari-carinya di tengah-tengah kerumunan sementara dia sedang menangis. Keterjagaanku yang tiba-tiba, membuatku tidak berhasil menemukannya.

Keempat, ini yang terjadi tadi malam. Saat aku berangkat ke Ismailiyah, aku menjemput terlebih dahulu rekanku sesama pengajar. Dia yang biasa terlihat necis, mengenakan baju yang sudah berlubang di beberapa bagian. Sampai ke tempat tujuan, aku tidak mendapati satu siswa pun. Aku sadar ternyata aku terlambat berangkat. Bagaimana bisa, kursus yang harus dimulai pukul setengah tiga siang sedangkan aku berangkat dari Kairo pukul dua siang? Asal tahu saja, perjalanan Kairo-Ismailiyah rata-rata memakan waktu 2 jam. Dalam perjalanan pulang, aku menjumpai seorang muridku dan mengeluh, “Guru, kalau memang tidak ada kursus, mengapa tidak mengabari kami terlebih dahulu sehingga kami tidak kecewa seperti ini?” Rumahnya ternyata ada di tengah padang pasir, perbatasan provinsi Ismailiyah dan Kairo (realitanya, tidak ada pemukiman di tengah-tengah gurun).

Apapun isi mimpi yang menghampiriku, aku mungkin harus berhati-hati, melawan apa yang tidak aku ketahui. Jadikan itu refleksi, kata kekasihku. Keniscayaannya, aku berencana pulang bulan duabelas. Dan orang tuaku meminta, kalau bisa, segeralah pulang cepat. Ya Allah, mohon pertolongan!


Jumat, 11 Oktober 2013

Mengetahui Rahasia Itu Menyakitkan



Kalian tentu pernah kan mendengarkan teman, orang tua, saudara, tetangga kalian menceritakan urusan rahasia mereka kepada kalian? Semuanya kupikir pernah mengalaminya. Kita mencoba memposisikan diri sebagai—minimal—menjadi pendengar yang baik. Atau mungkin justru kita melihat dan menyaksikannya langsung. Sebelum bisa menilai dalam pikiran dan ucapan, saya teringat langsung ucapan dari seorang teman: mengetahui rahasia itu menyakitkan. Dan ia benar.

Setelah itu reaksi kita bisa beragam. Kita bisa marah, kita bisa saja takut, kita bisa diam, kita bisa simpati dan mencoba peduli, kita merasa tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan kadang merasa tak perlu berbuat apa-apa. 

Tentang apa itu sebenarnya yang bernama rahasia, saya tak ingin mengartikannya di sini. Barangkali satu urusan bisa menjadi sebuah-rahasia bagi satu orang dan mungkin sekali juga bukan-sebuah-rahasia bagi yang lain. Hanya saja, barangkali saya bisa mengajak Anda bersepakat bahwa sebuah kenyataan atau kebenaran menjadi rahasia—sejenis urusan privasi dalam kesadaran keakuan kita—jika kita tidak tak menghendakinya diketahui oleh publik.

Sebelum bisa berpikir apa-apa, saya sendiri sakit apabila melihat status seseorang di Facebook tentang kekurangan-kekurangan pasangannya (saya tidak membahas etika di sini). Kenyataan yang mestinya cukup menjadi urusan mereka berdua (suami istri) dan aib apabila dibeberkan kepada siapa saja. Begitu juga, ketika saya tahu bagaimana beberapa kawan benar-benar banting tulang dan kadang tersandung-sandung (laki-laki atau perempuan) berjuang secara ekonomi untuk bisa hidup dan belajar di sini. Dan juga ketika saya—begitu juga kalian—pernah mendengar langsung luapan sakit hati kawan kita soal hubungan cinta mereka. 

Mari saya ajak menguji kepekaan kita sebagai rakyat Indonesia. Mari melihat lagi berita terakhir soal tertangkapnya Ketua Mahkamah Konstitusi Indonesia, Akil Muchtar karena dugaan suap. Sebelum kita mencaci, acuh tak acuh, prihatin dan heran atas perilaku pejabat hokum yang mencederai hukum, dalam kepekaan naluri perasaan kita sebagai rakyat, kita sudah sakit dahulu mengetahui kenyataan yang berbaris diberitakan di koran-koran: mengetahui begitu dekatnya pejabat dengan tindak korupsi atau suap alias membaca sendiri kelakukan sebenarnya dari yang bersangkutan. Sampai-sampai kenyataan demi kenyataan menambah amunisi pemahaman kita bahwa hal demikian sudah bukan rahasia. Sudah kebal mungkin rasa sakit kita mendapati kalau pejabat demi pejabat sebenarnya hanya “jujur bawa dusta”. Namun, justru karena sudah menjadi rahasia umum, para pejabat makin hati-hati memperjuangkan kerahasiaan perilaku mereka.

Begitu juga yang diakui oleh Tsarwat Kharbawy, mantan petinggi jamaah Islam terbesar di Mesir, Ikhwanul Muslimin. Dia memutuskan keluarkan dari jamaah pada tahun 2002 setelah mengetahui kenyataan yang sebenarnya tentang Ikhwanul Muslimin. Dia mengakui ketidakmampuannya untuk mempercayai apa yang dia lihat tapi dia harus melakukan apa yang harus dia lakukan. Dia menerbitkan dua buku yang mengupas habis tentang rahasia sebenarnya IM (Qalbul Ikhwan, terbit pada 2010 dan Sirrul Ma’bad terbit pada 2012). Kepada pembaca, dia hanya bilang jika membaca dan langsung percaya atau langsung menolak, lebih baik tak perlu membacanya. Bacalah dan telitilah sendiri kebenaran dari apa yang saya tuliskan, pesannya. Dia mengutip Orhan Pamuk, “Aku menulis karena aku tak mampu memikul rahasia ini seorang diri. Dan aku ingin melawannya.”

Bagaimana kita menghadapi rahasia? Pada akhirnya saya menyadari, bahwa hal ini adalah urusan kita dengan diri kita sendiri. Urusan cara kita berdamai dengan diri kita sendiri. Karena satu hal: kita tidak ditakdirkan untuk tidak pernah punya rahasia. Terlepas dari semua ini, sebenarnya kita bergulat pada diri kita sendiri tentang cara mengelola mana yang rahasia dan mana yang bukan rahasia kepada keluarga, orang terdekat, teman dan orang yang kita cintai sendiri. Bagi saya, misalnya harus wajar bila sudah tidak ada rahasia lagi seseorang dengan pasangannya (yang sah). Perjalanan hidup kita sampai mati pun akan terus berjuang menempatkan mana yang pribadi dan mana yang bukan pribadi sesuai dengan tempatnya masing-masing. Ada 3 hal yang membuat kita berpikir dan bekerja keras agar bisa adil menjalani hidup untuk diri kita sendiri dan orang lain. Satu di antaranya adalah urusan privat-publik. Oleh sebab itu, urusan ini selalu bisa berlaku dalam segmen hidup berteman, berkeluarga, berpolitik, bekerja dll.  

Cukuplah bagi saya untuk tidak membubuhkan pesan apapun di penutup. Setelah merasakan kesakitan ini, semua dari kita selama ini, saya kira, sudah punya cara sendiri (atau kebiasaan) untuk menghadapinya. Tentang bagaimana kita berdamai, melawan dan menuntaskannya.  

Jumat, 04 Oktober 2013

Mesir dalam Mikro Mataku

Berita politik Mesir sudah jarang saya ikuti. Membacanya lewat twitter—saya mengfolloow puluhan situs berita dan puluhan aktivis politik, blogger dan pengamat politik—hampir tidak memberiku jeda untuk bernafas.

Akhirnya, kucukupkan dengan membaca tulisan panjang yang keluar mingguan dan merasakan dampak dari dinamika politik dalam negeri Mesir secara mikro: hidup di tanah Mesir sendiri. Ini yang barangkali luput oleh yang melihat berita Mesir dari luar—fokus pada hal-hal besar semata.

Sejak bulan Ramadhan lalu, saya memiliki 3 teman Mesir yang meminta saya memberikan privat les bahasa Indonesia. Ketiganya adalah mantan mahasiswa jurusan pariwisata dan perhotelan. Sebelum revolusi, mereka bekerja sebagai pemandu wisata. Satu dari mereka, Emad, sudah menikah dan beruntung masih kerja sebagai pemandu. Dua yang lain, Basam dan Yousef praktis menganggur tak berpenghasilan. Keduanya sudah berumur tapi belum menikah.

Saat memberikan les di rumah Yousef di kawasan Masarrah, Kairo, saya ditunjukkan foto kenang-kenangan dia bersama tamu wisatawan yang dipandunya. Aku melihat turis-turis bermuka Indonesia. Aku yakin itu, karena jelas-jelas banner yang jadi latar depan foto bersama adalah nama perusahaan dengan kosa kata Indonesia. Sayangnya, saya lupa nama perusahaan itu. Yousef menjelaskan, destinasi mereka adalah pendakian ke gunung Sinai, Piramida di Giza dan gereja gantung di jalan Mari Girgis, Kairo lama.

Kemudian dari penjelasan Basam, saya baru tahu, jenis pariwisata di Mesir ada dua. Pertama, pariwisata adventure dan pariwisata budaya. Para pemandu wisata bergerak di bidang pariwisata budaya. Mereka mengenalkan peninggalan sejarah Mesir dari masa Firaun sampai dinasti Islam. Basam sempat menawariku, karena aku orang Islam, jika ingin melihat langsung situs-situs bersejarah peninggalan dinasti Islam dari masa Fathimiyah sampai Turki Utsmani, dia siap menemaniku berkeliling Kairo. Dia tahu semuanya, karena itu yang dipelajarinya selama belajar di Fakultas Perhotelan dan Pariwisata Universitas Kanal Suez di Ismailiyah.

Praktis setelah revolusi 25 Januari, mereka menganggur. Tempat wisata lesu karena sepi pengunjung. Pendapatan terbesar kedua negara setelah Terusan Suez menurun drastis karena situasi keamanan yang tidak stabil. Ditambah pemberlakukan beberapa negara Eropa yang melarang penerbangan ke Mesir—yang sepertinya satu demi satu mulai dicabut.

Terakhir kali memberi les, Basam, Yousef dan Emad menunjukkan selebaran petisi pengumpulan tanda tangan pekerja pariwisata untuk menurunkan kepala asosiasi pekerja pariwisata. Isi selebarannya adalah menarik kepercayaan dan tuntutan pemecatan karena dari rentan pasca revolusi sampai sekarang, perbaikan pengadaan lapangan pekerjaan buat mereka dan pekerja seprofesi dengan mereka tak kunjung dirasakan.

Mengenai keamanan, bagi saya Mesir juga masih dapat dikatakan belum stabil.  Sejak pembubaran demonstran di Rabea el Adawea, 14 Agustus, 17 Mesir dari 27 provinsi di Mesir diberlakukan jam malam dan undang-undang darurat di Kairo. Termasuk di Ismailiyah, tempat saya mengajar bahasa Indonesia untuk pelajar Universitas Kanal Suez di Pusat Studi Indonesia dua hari dalam seminggu.

Pemeriksaan tidak ketat ketika berangkat karena siang hari. Tapi dalam perjalanan pulang pada pukul 5 sore (itu artinya sudah Maghrib karena sedang menganjak musim dingin), sekarang ini pemeriksaan bisa lebih dari dua kali—waktu mau masuk dan mau keluar Ismailiyah. Saking brengsek dan lucunya, pernah mobil kami dihentikan polisi karena alas an tidak membawa surat perwakilan dari empunya mobil yang kami sewa. Pertanyaan demi pertanyaan sengaja diarahkan ke kami dan ujung-ujungnya pak polisi minta bakhsis, alias tips. Aku ambil 20 Pound, baru mobil kami diizinkan jalan.

Sebenarnya, pemberlakukan kedaruratan seperti sekarang ini—dimana pada hari Jum’at, jam malam mulai diberlakukan mulai pukul 7 malam—sudah biasa dirasakan rakyat Mesir sejak lama. Semenjak mendiang Presiden Anwar Sadat dibunuh dalam perayaan parade militer di Nasr City, penggantinya Husni Mubarak langsung memberlakukan UU Darurat. Aturan ini praktis berlaku selama 30 tahun. Dalam rentan waktu selama itu, polisi dan militer punya hak tak terbatas untuk menangkap dan menginterogasi rakyatnya sendiri yang dicurigai. Saat ini, memang jam malam masih berjalan, jalanan juga sudah sepi, namun kafe-kafe dan toko-toko masih banyak yang buka dan ramai pengunjung.

Sekarang, Mesir sedang mencari identitas demokrasi untuk dirinya sendiri. Betapa gilanya kini pergulatan politik di atas dan pergerakan arus masyarakat di bawah. Partai politik sering bersebarangan karena semangat ideologi yang tinggi sementara arus bawah bergerak menuntut segera cepat tanpa kesabaran—seperti apa yang dilakukan muridku sendiri.

Ada benarnya ucapan dari seorang kawan. Bagi warga asing (termasuk pelajar) yang menetap lama, Mesir jauh lebih baik di tangan militer  layaknya sebelum revolusi, karena politik terkendali, keamanan stabil, ekonomi serba murah—tidak seperti rakyat Mesir yang kerap was-was. Dan sekarang, di masa peralihan, dampak politik dan ekonomi menjadikan warga asing sudah merasakan apa yang dirasakan oleh rakyat Mesir sendiri.