~

~ Sengkarut ide, serakan asa dan serpihan momen::

Jumat, 04 Oktober 2013

Mesir dalam Mikro Mataku

Berita politik Mesir sudah jarang saya ikuti. Membacanya lewat twitter—saya mengfolloow puluhan situs berita dan puluhan aktivis politik, blogger dan pengamat politik—hampir tidak memberiku jeda untuk bernafas.

Akhirnya, kucukupkan dengan membaca tulisan panjang yang keluar mingguan dan merasakan dampak dari dinamika politik dalam negeri Mesir secara mikro: hidup di tanah Mesir sendiri. Ini yang barangkali luput oleh yang melihat berita Mesir dari luar—fokus pada hal-hal besar semata.

Sejak bulan Ramadhan lalu, saya memiliki 3 teman Mesir yang meminta saya memberikan privat les bahasa Indonesia. Ketiganya adalah mantan mahasiswa jurusan pariwisata dan perhotelan. Sebelum revolusi, mereka bekerja sebagai pemandu wisata. Satu dari mereka, Emad, sudah menikah dan beruntung masih kerja sebagai pemandu. Dua yang lain, Basam dan Yousef praktis menganggur tak berpenghasilan. Keduanya sudah berumur tapi belum menikah.

Saat memberikan les di rumah Yousef di kawasan Masarrah, Kairo, saya ditunjukkan foto kenang-kenangan dia bersama tamu wisatawan yang dipandunya. Aku melihat turis-turis bermuka Indonesia. Aku yakin itu, karena jelas-jelas banner yang jadi latar depan foto bersama adalah nama perusahaan dengan kosa kata Indonesia. Sayangnya, saya lupa nama perusahaan itu. Yousef menjelaskan, destinasi mereka adalah pendakian ke gunung Sinai, Piramida di Giza dan gereja gantung di jalan Mari Girgis, Kairo lama.

Kemudian dari penjelasan Basam, saya baru tahu, jenis pariwisata di Mesir ada dua. Pertama, pariwisata adventure dan pariwisata budaya. Para pemandu wisata bergerak di bidang pariwisata budaya. Mereka mengenalkan peninggalan sejarah Mesir dari masa Firaun sampai dinasti Islam. Basam sempat menawariku, karena aku orang Islam, jika ingin melihat langsung situs-situs bersejarah peninggalan dinasti Islam dari masa Fathimiyah sampai Turki Utsmani, dia siap menemaniku berkeliling Kairo. Dia tahu semuanya, karena itu yang dipelajarinya selama belajar di Fakultas Perhotelan dan Pariwisata Universitas Kanal Suez di Ismailiyah.

Praktis setelah revolusi 25 Januari, mereka menganggur. Tempat wisata lesu karena sepi pengunjung. Pendapatan terbesar kedua negara setelah Terusan Suez menurun drastis karena situasi keamanan yang tidak stabil. Ditambah pemberlakukan beberapa negara Eropa yang melarang penerbangan ke Mesir—yang sepertinya satu demi satu mulai dicabut.

Terakhir kali memberi les, Basam, Yousef dan Emad menunjukkan selebaran petisi pengumpulan tanda tangan pekerja pariwisata untuk menurunkan kepala asosiasi pekerja pariwisata. Isi selebarannya adalah menarik kepercayaan dan tuntutan pemecatan karena dari rentan pasca revolusi sampai sekarang, perbaikan pengadaan lapangan pekerjaan buat mereka dan pekerja seprofesi dengan mereka tak kunjung dirasakan.

Mengenai keamanan, bagi saya Mesir juga masih dapat dikatakan belum stabil.  Sejak pembubaran demonstran di Rabea el Adawea, 14 Agustus, 17 Mesir dari 27 provinsi di Mesir diberlakukan jam malam dan undang-undang darurat di Kairo. Termasuk di Ismailiyah, tempat saya mengajar bahasa Indonesia untuk pelajar Universitas Kanal Suez di Pusat Studi Indonesia dua hari dalam seminggu.

Pemeriksaan tidak ketat ketika berangkat karena siang hari. Tapi dalam perjalanan pulang pada pukul 5 sore (itu artinya sudah Maghrib karena sedang menganjak musim dingin), sekarang ini pemeriksaan bisa lebih dari dua kali—waktu mau masuk dan mau keluar Ismailiyah. Saking brengsek dan lucunya, pernah mobil kami dihentikan polisi karena alas an tidak membawa surat perwakilan dari empunya mobil yang kami sewa. Pertanyaan demi pertanyaan sengaja diarahkan ke kami dan ujung-ujungnya pak polisi minta bakhsis, alias tips. Aku ambil 20 Pound, baru mobil kami diizinkan jalan.

Sebenarnya, pemberlakukan kedaruratan seperti sekarang ini—dimana pada hari Jum’at, jam malam mulai diberlakukan mulai pukul 7 malam—sudah biasa dirasakan rakyat Mesir sejak lama. Semenjak mendiang Presiden Anwar Sadat dibunuh dalam perayaan parade militer di Nasr City, penggantinya Husni Mubarak langsung memberlakukan UU Darurat. Aturan ini praktis berlaku selama 30 tahun. Dalam rentan waktu selama itu, polisi dan militer punya hak tak terbatas untuk menangkap dan menginterogasi rakyatnya sendiri yang dicurigai. Saat ini, memang jam malam masih berjalan, jalanan juga sudah sepi, namun kafe-kafe dan toko-toko masih banyak yang buka dan ramai pengunjung.

Sekarang, Mesir sedang mencari identitas demokrasi untuk dirinya sendiri. Betapa gilanya kini pergulatan politik di atas dan pergerakan arus masyarakat di bawah. Partai politik sering bersebarangan karena semangat ideologi yang tinggi sementara arus bawah bergerak menuntut segera cepat tanpa kesabaran—seperti apa yang dilakukan muridku sendiri.

Ada benarnya ucapan dari seorang kawan. Bagi warga asing (termasuk pelajar) yang menetap lama, Mesir jauh lebih baik di tangan militer  layaknya sebelum revolusi, karena politik terkendali, keamanan stabil, ekonomi serba murah—tidak seperti rakyat Mesir yang kerap was-was. Dan sekarang, di masa peralihan, dampak politik dan ekonomi menjadikan warga asing sudah merasakan apa yang dirasakan oleh rakyat Mesir sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar