~

~ Sengkarut ide, serakan asa dan serpihan momen::

Jumat, 11 Oktober 2013

Mengetahui Rahasia Itu Menyakitkan



Kalian tentu pernah kan mendengarkan teman, orang tua, saudara, tetangga kalian menceritakan urusan rahasia mereka kepada kalian? Semuanya kupikir pernah mengalaminya. Kita mencoba memposisikan diri sebagai—minimal—menjadi pendengar yang baik. Atau mungkin justru kita melihat dan menyaksikannya langsung. Sebelum bisa menilai dalam pikiran dan ucapan, saya teringat langsung ucapan dari seorang teman: mengetahui rahasia itu menyakitkan. Dan ia benar.

Setelah itu reaksi kita bisa beragam. Kita bisa marah, kita bisa saja takut, kita bisa diam, kita bisa simpati dan mencoba peduli, kita merasa tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan kadang merasa tak perlu berbuat apa-apa. 

Tentang apa itu sebenarnya yang bernama rahasia, saya tak ingin mengartikannya di sini. Barangkali satu urusan bisa menjadi sebuah-rahasia bagi satu orang dan mungkin sekali juga bukan-sebuah-rahasia bagi yang lain. Hanya saja, barangkali saya bisa mengajak Anda bersepakat bahwa sebuah kenyataan atau kebenaran menjadi rahasia—sejenis urusan privasi dalam kesadaran keakuan kita—jika kita tidak tak menghendakinya diketahui oleh publik.

Sebelum bisa berpikir apa-apa, saya sendiri sakit apabila melihat status seseorang di Facebook tentang kekurangan-kekurangan pasangannya (saya tidak membahas etika di sini). Kenyataan yang mestinya cukup menjadi urusan mereka berdua (suami istri) dan aib apabila dibeberkan kepada siapa saja. Begitu juga, ketika saya tahu bagaimana beberapa kawan benar-benar banting tulang dan kadang tersandung-sandung (laki-laki atau perempuan) berjuang secara ekonomi untuk bisa hidup dan belajar di sini. Dan juga ketika saya—begitu juga kalian—pernah mendengar langsung luapan sakit hati kawan kita soal hubungan cinta mereka. 

Mari saya ajak menguji kepekaan kita sebagai rakyat Indonesia. Mari melihat lagi berita terakhir soal tertangkapnya Ketua Mahkamah Konstitusi Indonesia, Akil Muchtar karena dugaan suap. Sebelum kita mencaci, acuh tak acuh, prihatin dan heran atas perilaku pejabat hokum yang mencederai hukum, dalam kepekaan naluri perasaan kita sebagai rakyat, kita sudah sakit dahulu mengetahui kenyataan yang berbaris diberitakan di koran-koran: mengetahui begitu dekatnya pejabat dengan tindak korupsi atau suap alias membaca sendiri kelakukan sebenarnya dari yang bersangkutan. Sampai-sampai kenyataan demi kenyataan menambah amunisi pemahaman kita bahwa hal demikian sudah bukan rahasia. Sudah kebal mungkin rasa sakit kita mendapati kalau pejabat demi pejabat sebenarnya hanya “jujur bawa dusta”. Namun, justru karena sudah menjadi rahasia umum, para pejabat makin hati-hati memperjuangkan kerahasiaan perilaku mereka.

Begitu juga yang diakui oleh Tsarwat Kharbawy, mantan petinggi jamaah Islam terbesar di Mesir, Ikhwanul Muslimin. Dia memutuskan keluarkan dari jamaah pada tahun 2002 setelah mengetahui kenyataan yang sebenarnya tentang Ikhwanul Muslimin. Dia mengakui ketidakmampuannya untuk mempercayai apa yang dia lihat tapi dia harus melakukan apa yang harus dia lakukan. Dia menerbitkan dua buku yang mengupas habis tentang rahasia sebenarnya IM (Qalbul Ikhwan, terbit pada 2010 dan Sirrul Ma’bad terbit pada 2012). Kepada pembaca, dia hanya bilang jika membaca dan langsung percaya atau langsung menolak, lebih baik tak perlu membacanya. Bacalah dan telitilah sendiri kebenaran dari apa yang saya tuliskan, pesannya. Dia mengutip Orhan Pamuk, “Aku menulis karena aku tak mampu memikul rahasia ini seorang diri. Dan aku ingin melawannya.”

Bagaimana kita menghadapi rahasia? Pada akhirnya saya menyadari, bahwa hal ini adalah urusan kita dengan diri kita sendiri. Urusan cara kita berdamai dengan diri kita sendiri. Karena satu hal: kita tidak ditakdirkan untuk tidak pernah punya rahasia. Terlepas dari semua ini, sebenarnya kita bergulat pada diri kita sendiri tentang cara mengelola mana yang rahasia dan mana yang bukan rahasia kepada keluarga, orang terdekat, teman dan orang yang kita cintai sendiri. Bagi saya, misalnya harus wajar bila sudah tidak ada rahasia lagi seseorang dengan pasangannya (yang sah). Perjalanan hidup kita sampai mati pun akan terus berjuang menempatkan mana yang pribadi dan mana yang bukan pribadi sesuai dengan tempatnya masing-masing. Ada 3 hal yang membuat kita berpikir dan bekerja keras agar bisa adil menjalani hidup untuk diri kita sendiri dan orang lain. Satu di antaranya adalah urusan privat-publik. Oleh sebab itu, urusan ini selalu bisa berlaku dalam segmen hidup berteman, berkeluarga, berpolitik, bekerja dll.  

Cukuplah bagi saya untuk tidak membubuhkan pesan apapun di penutup. Setelah merasakan kesakitan ini, semua dari kita selama ini, saya kira, sudah punya cara sendiri (atau kebiasaan) untuk menghadapinya. Tentang bagaimana kita berdamai, melawan dan menuntaskannya.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar