Kalian tentu pernah kan mendengarkan teman, orang tua, saudara,
tetangga kalian menceritakan urusan rahasia mereka kepada kalian? Semuanya
kupikir pernah mengalaminya. Kita mencoba memposisikan diri sebagai—minimal—menjadi
pendengar yang baik. Atau mungkin justru kita melihat dan menyaksikannya langsung.
Sebelum bisa menilai dalam pikiran dan ucapan, saya teringat langsung ucapan
dari seorang teman: mengetahui rahasia itu menyakitkan. Dan ia benar.
Setelah itu reaksi kita bisa beragam. Kita bisa marah, kita
bisa saja takut, kita bisa diam, kita bisa simpati dan mencoba peduli, kita
merasa tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan kadang merasa tak perlu berbuat
apa-apa.
Tentang apa itu sebenarnya yang bernama rahasia, saya tak
ingin mengartikannya di sini. Barangkali satu urusan bisa menjadi
sebuah-rahasia bagi satu orang dan mungkin sekali juga bukan-sebuah-rahasia
bagi yang lain. Hanya saja, barangkali saya bisa mengajak Anda bersepakat bahwa
sebuah kenyataan atau kebenaran menjadi rahasia—sejenis urusan privasi dalam
kesadaran keakuan kita—jika kita tidak tak menghendakinya diketahui oleh publik.
Sebelum bisa berpikir apa-apa, saya sendiri sakit apabila
melihat status seseorang di Facebook tentang kekurangan-kekurangan pasangannya
(saya tidak membahas etika di sini). Kenyataan yang mestinya cukup menjadi
urusan mereka berdua (suami istri) dan aib apabila dibeberkan kepada siapa
saja. Begitu juga, ketika saya tahu bagaimana beberapa kawan benar-benar
banting tulang dan kadang tersandung-sandung (laki-laki atau perempuan)
berjuang secara ekonomi untuk bisa hidup dan belajar di sini. Dan juga ketika
saya—begitu juga kalian—pernah mendengar langsung luapan sakit hati kawan kita
soal hubungan cinta mereka.
Mari saya ajak menguji kepekaan kita sebagai rakyat
Indonesia. Mari melihat lagi berita terakhir soal tertangkapnya Ketua Mahkamah
Konstitusi Indonesia, Akil Muchtar karena dugaan suap. Sebelum kita mencaci,
acuh tak acuh, prihatin dan heran atas perilaku pejabat hokum yang mencederai hukum,
dalam kepekaan naluri perasaan kita sebagai rakyat, kita sudah sakit dahulu
mengetahui kenyataan yang berbaris diberitakan di koran-koran: mengetahui
begitu dekatnya pejabat dengan tindak korupsi atau suap alias membaca sendiri
kelakukan sebenarnya dari yang bersangkutan. Sampai-sampai kenyataan demi
kenyataan menambah amunisi pemahaman kita bahwa hal demikian sudah bukan
rahasia. Sudah kebal mungkin rasa sakit kita mendapati kalau pejabat demi
pejabat sebenarnya hanya “jujur bawa dusta”. Namun, justru karena sudah menjadi
rahasia umum, para pejabat makin hati-hati memperjuangkan kerahasiaan perilaku
mereka.
Begitu juga yang diakui oleh Tsarwat Kharbawy, mantan
petinggi jamaah Islam terbesar di Mesir, Ikhwanul Muslimin. Dia memutuskan
keluarkan dari jamaah pada tahun 2002 setelah mengetahui kenyataan yang
sebenarnya tentang Ikhwanul Muslimin. Dia mengakui ketidakmampuannya untuk
mempercayai apa yang dia lihat tapi dia harus melakukan apa yang harus dia
lakukan. Dia menerbitkan dua buku yang mengupas habis tentang rahasia
sebenarnya IM (Qalbul Ikhwan, terbit pada 2010 dan Sirrul Ma’bad terbit pada
2012). Kepada pembaca, dia hanya bilang jika membaca dan langsung percaya atau
langsung menolak, lebih baik tak perlu membacanya. Bacalah dan telitilah
sendiri kebenaran dari apa yang saya tuliskan, pesannya. Dia mengutip Orhan
Pamuk, “Aku menulis karena aku tak mampu memikul rahasia ini seorang diri. Dan aku
ingin melawannya.”
Bagaimana kita menghadapi rahasia? Pada akhirnya saya
menyadari, bahwa hal ini adalah urusan kita dengan diri kita sendiri. Urusan
cara kita berdamai dengan diri kita sendiri. Karena satu hal: kita tidak
ditakdirkan untuk tidak pernah punya rahasia. Terlepas dari semua ini,
sebenarnya kita bergulat pada diri kita sendiri tentang cara mengelola mana
yang rahasia dan mana yang bukan rahasia kepada keluarga, orang terdekat, teman
dan orang yang kita cintai sendiri. Bagi saya, misalnya harus wajar bila sudah
tidak ada rahasia lagi seseorang dengan pasangannya (yang sah). Perjalanan hidup
kita sampai mati pun akan terus berjuang menempatkan mana yang pribadi dan mana
yang bukan pribadi sesuai dengan tempatnya masing-masing. Ada 3 hal yang
membuat kita berpikir dan bekerja keras agar bisa adil menjalani hidup untuk
diri kita sendiri dan orang lain. Satu di antaranya adalah urusan
privat-publik. Oleh sebab itu, urusan ini selalu bisa berlaku dalam segmen
hidup berteman, berkeluarga, berpolitik, bekerja dll.
Cukuplah bagi saya untuk tidak membubuhkan pesan apapun di
penutup. Setelah merasakan kesakitan ini, semua dari kita selama ini, saya
kira, sudah punya cara sendiri (atau kebiasaan) untuk menghadapinya. Tentang bagaimana
kita berdamai, melawan dan menuntaskannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar