~

~ Sengkarut ide, serakan asa dan serpihan momen::

Senin, 19 Maret 2012

Alun-alun dan Kedai Kopi

#1
Pagi bersinar. Langit beraut cerah. Musim semi menghembuskan dan menyebarkan udara segar. Alun-alun kembali membuka mata dengan sisa-sisa yang masih sama. Toko-toko menggulung pintu. Susu dan roti fathirah laris dijajakan. Kedai-kedai kopi menyambut siapa saja, baik para pekerja maupun pengangguran.

Aku duduk, di hadapanku ada secangkir teh hijau. Sesekali aku mengamati sekitar, kali lain membuka memori. Aku menikmati kesehatan, harapan dan cita-cita, serta mimpi-mimpi anak muda.

Akal pikiran tak luput keruh akibat polusi yang mengotori udara jernih. Ada pria bermata sayu, setelah menangis dan tidak bisa tidur semalaman, bertanya soal kantor kesehatan. Ada wanita lansia mencari-cari jalan pintas dijebloskan ke penjara Mesir, karena terpuruk dalam masalah demi masalah setiap hari. Pada saat yang sama, suara Umi Kultsum mengalun merdu dari radio, melipur pagi mereka yang mendengarkannya. Aku menyeruput teh, bergembira, ngobrol tenang sampai semua kekeruhan ini sirna lalu keindahan menampakkan diri tanpa mau tergerus perubahan zaman.

#2
Hari beranjak siang. Makanan Kabab tiba. Pelayan berlalu sambil mengangkat teko dan gelas. Hidangan ini sebagai menu makan siang.

Temanku membuka percakapan, "Kemacetan hari ini mencengangkan."

"Alun-alun selalu disemuti orang-orang." Kataku tanpa peduli.

"Tetapi hari ini, sudah di luar batas kewajaran."

Seorang pelayan ikut nimbrung ke dalam obrolan kami, bersemangat dengan gaya lama, "Semua orang kini berubah. Mereka sudah tidak seperti yang dulu lagi…"

"Mahasuci Dzat yang memiliki keabadian." sahut kawanku.

Pelayan itu meneruskan bicaranya, "Kamu tanyakan pada salah satu dari mereka, apa yang membuatnya berubah. Ia akan mengingkarinya dan mengira, yang berubah adalah orang lain. Beginilah kenyataannya, dunia seisinya sudah berubah."

Kami berdua mulai menyantap makanan, dan aku masih memikirkan perbincangan yang baru saja kudengar. Aku melempar komentar dengan nada menenangkan, "Begitulah manusia di manapun dan kapanpun."

#3
Selang waktu dari Dzuhur sampai Ashar, kami tidak meneruskan obrolan. Kami memandangi apa yang tengah terjadi dengan mata linglung.

Sahabatku bertanya-tanya, "Apakah kemacetan ini terjadi setiap hari?"

"Sama sekali tidak." Aku menyahut mengakui, "Bahkan di hari-hari perayaan sekalipun."
Kemacetan melebat dalam bentuk yang mengherankan. Tanah sudah tak terlihat lagi, diinjak telapak kaki manusia, laki-laki, perempuan, anak-anak. Toko-toko kekenyangan pelanggan. Kegaduhan melengking, berlomba sengit dengan suara radio. Setiap ada niat untuk memborong, seolah-olah mereka hendak menimbun atau membutuhkannya karena akan pergi jauh. Alun-alun bak arus tanpa ujung berwujud kerumunan orang yang berteriak keras saling bersautan. Segala sesuatu berlangsung begitu cepat dan gila-gilaan mempengaruhi kebutuhan. Pengemis jalanan tidak punya tempat, terpelanting di udara. Tempat lahirnya transaksi jual-beli dan kawah kesabaran yang sia-sia ini hibuk sonder letih. Temanku berkomat-kamit, "Wahai Dzat yang menampilkan kelembutan, lindungi kami dari segala yang menakutkan kami."

Kami berdua ngakak. Tawa kami seperti ketololan.

#4
Jeda waktu dari terbenamnya matahari hingga malam, orang-orang terburu-buru berpencar dan menghilang. Dalam kondisi kacau dan ruwet, syaraf-syaraf kerap menegang, api percekcokan, adu mulut dan adu jotos begitu gampang tersulut. Gelombang manusia menyurut, keriuhan kerumunan orang mereda, suara teriakan dan saut-sautan menyusut pelan-pelan. Alun-alun sepi senyap. Padahal biasanya, baru beranjak sepi di sepenggal ujung malam.

Aku berpikir untuk bertanya saja pada polisi lalu lintas, namun aku melihat emosinya mendidih, wajahnya cemberut, maka aku memilih langkah aman saja.

Tiba-tiba, toko-toko mulai mengunci pintu dan rumah-rumah menutup jendelanya. Gelap menguasai, kesenyapan dan kelengangan tengah menyelimuti alun-alun. Para pelanggan kedai kopi saling melempar pandang penuh kebingungan.

"Apa yang terjadi pada dunia ini?"

"Ini loh koran. Tidak ada berita apa-apa di sini."

"Tetapi rasanya, sesuatu tengah terjadi. Aku yakin."

"Kita harus pergi. Apa yang membuat kita terus-terusan duduk di sini?"

"Kita menunggu siaran berita."

"Entah nanti terjadi sesuatu atau tidak, kita bakal berjumpa lagi."

"Di rumah? Siapa di rumah?"

Seorang lelaki berdiri dan berkata, "Hatiku yang bilang demikian padaku."

Belum tuntas menyelesaikan ucapannya, ia memberi isyarat dengan tangannya, namun isyaratnya kabur. Lalu ia berlalu begitu saja. Kepergiannya turut mendorong mereka yang bingung. Mereka menyelinap, menghilang satu persatu. Aku beranjak bersama karibku dan pada akhirnya, kebingungan masih tetap merajai kami berdua.

"Kepalaku serasa berputar." katanya padaku, "Demi Tuhan, ceritakan padaku apa yang terjadi."

Aku menjawab dalam keadaan habis kesabaran, "Semua yang terjadi, biarlah terjadi. Apa yang bisa kuceritakan padamu tentang sesuatu yang belum terjadi?"


*Diterjemahkan dari Antologi Cerpen "Al Fajr Al Kadzib" karya sastrawan Mesir, Naguib Mahfoudz. Cerita pendek kedua puluh dua, "Al Midan wa al Maqahi"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar